Selasa, 23/04/2024 14:42 WIB

Mengharukan, Surat Imigran Asal Yaman untuk Trump (Bag.1)

Dari dalam kaca mobil aku melihat ke luar, dan dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan orang-orang berbaris mengantri untuk mendapatkan air. Panas.

Ilustrasi seni perang Yaman (foto: NY Times)

Aku masih ingat betul, saat kali pertama aku pergi ke Amerika meninggalkan Yaman, ada satu hal yang sangat berbeda. Dalam perjalanan menuju Bandara Sanaa, Yaman, aku mendengar banyak dentuman bom yang dijatuhkan dari pesawat tempur yang berlalu-lalang di langit Yaman. Dari dalam kaca mobil aku melihat ke luar, dan dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan orang-orang berbaris mengantri untuk mendapatkan air. Panas. Mereka sangat kehausan.

Maklum, sudah satu tahun setengah Yaman bergejolak dalam perang saudara. Entahlah, bagaimana mungkin orang-orang dapat bertahan dalam kondisi seperti ini. Tak hanya satu, ada 10 ribu warga yang mengemis-ngemis meminta bantuan kepada pemerintah dan dunia.

Hari pertama di California, suara cuitan burung yang saling bersahutan sudah menyambutku sejak membuka mata. Cahaya yang berpendar di atas lampu-lampu yang teraliri listrik memenuhi sudut-sudut kamar asramaku. Saat aku berjalan ke depan jendela, aku melihat banyak pelajar sedang berjalan ke sekolah masing-masing. Ada yang berjalan kaki, sebagian lagi mengayuh sepeda. Menyenangkan. Amerika benar-benar membuatku seperti berada di tanah kebebasan (land of freedom). Aku semakin bersemangat menyambut hari pertamaku masuk kuliah di Stanford University.

Di Yaman, jangan harap. Puluhan gedung kampus sudah rata dengan tanah. Beberapa ada yang masih utuh, tapi ditutup karena khawatir ada serangan bom. Sedangkan di Stanford, aku bisa belajar dengan nyaman dan bebas memilih jurusan yang aku inginkan. Kawan, aku sangat menyukai kelas ilmu politik. Bahkan aku lebih bergairah ketika dosen menjelaskan tema ‘Aturan-aturan perang’, yang di dalamnya aku mengetahui bagaimana seharusnya perang diatur tanpa harus menyebabkan kekerasan pada anak, wanita, atau warga sipil yang berhak untuk mendapatkan perlindungan.

Hari-hariku sangat padat. Aku mulai punya banyak teman dari berbagai negara, warna kulit, latar belakang, dan agama yang berbeda-beda. Komunitas orang-orang di sini dapat menerima seluruh perbedaan tersebut dengan lapang.

Namun, kali ini ketenanganku terusik saat presiden Amerika terpilh, Donald Trump megeluarkan kebijakan anti-imigran dan pengungsi. Negaraku, Yaman, juga termasuk dalam tujuh negara Timur Tengah yang dicekal oleh Trump. Sedih. Meskipun akhirnya keputusan ini ditentang oleh Hakim Agung, kemarin (5/2). “Trump harusnya tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak adil begitu,” jeritku dalam hati.

Kawan, tak satu pun pengungsi dari tujuh negara tersebut setuju dengan serangan terorisme di Amerika. Justru, Amerika harusnya introspeksi diri untuk menarik pasukan mereka dari Timur Tengah. Sebab, inilah biang keladi munculnya aksi-aksi teror dan semakin mewabahnya pengungsi asal Timur Tengah di AS maupun negara-negara Eropa. Selanjutnya klik

KEYWORD :

Amerika Donald Trump Surat Imigran Yaman




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :