Jum'at, 19/04/2024 09:16 WIB

MA Harus Menolak Permohonan PK Terpidana Korupsi

Hukum positif Indonesia mengatur serta membatasi syarat bagi terpidana yang ingin mengajukan PK.

Gedung KPK

Jakarta, Jurnas.com - Data Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya hingga saat ini masih terdapat 19 terpidana kasus korupsi yang ditangani oleh KPK sedang mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni peninjauan kembali.

Satu sisi hal itu merupakan hak setiap narapidana yang dijamin oleh undang-undang, akan tetapi tak dapat dipungkiri juga bahwa upaya PK kerap dijadikan jalan pintas untuk terbebas dari jerat hukuman.

Apalagi mengingat Hakim Agung Artidjo telah purna tugas per Mei 2018 lalu. Saat ini justru publik sering kali diperlihatkan pada putusan tingkat PK yang sering kali tidak berpihak dengan pemberantasan korupsi.

Ambil contoh, Choel Mallarangeng, pada tingkat pengadilan sebelumnya ia divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta (incracht) namun Mahkamah Agung (MA) memperingan hukumannya hanya menjadi 3 tahun penjara.

Tak lepas dari itu, MA juga mengabulkan PK mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina, Suroso Atmomartoyo. Sebelumnya Suroso dihukum 7 tahun penjara, denda Rp 200 juta, dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar USD 190 ribu. Namun putusan PK malah menghilangkan kewajiban pembayaran uang pengganti tersebut.

Hukum positif Indonesia mengatur serta membatasi syarat bagi terpidana yang ingin mengajukan PK. Pasal 263 ayat (2) KUHAP telah tegas menyebutkan bahwa syarat jika seseorang ingin mengajukan PK, yakni: 1) Apabila terdapat
keadaan/novum baru;
2) putusan yang keliru;
3) kekhilafan dari hakim saat menjatuhkan putusan. Namun dalam beberapa kesempatan syarat itu kerap diabaikan, sehingga putusan yang dihasilkan dinilai jauh dari rasa keadilan bagi masyarakat.

Kesimpulan diatas bukan tanpa dasar, dalam putusan yang mengabulkan PK Choel Mallarangeng, MA menyebutkan bahwa alasan utama karena yang bersangkutan telah mengembalikan uang yang telah diterimanya.

Tentu ini bertentangan dengan Pasal 4 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.

Sederhananya, seberapapun besarnya uang hasil korupsi yang telah dikembalikan kepada negara, tentu hal itu tidak dapat dijadikan dasar
penghapus hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi.

Dalam daftar yang sedang mengajukan PK terdapat nama-nama yang telah dikenal luas oleh publik, misalnya Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat), Patrialis Akbar (mantan Hakim Mahkamah Konstitusi), Irman Gusman (mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah), OC Kaligis (Pengacara), dll.

Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Kurnia Ramadhana mengandungcurcol hal di atas harus menjadi warning bagi MA, bagaimanapun dengan kuasa yang dimiliki oleh para pengaju PK bukan tidak mungkin putusan PK berpotensi hanya akan menguntungkan pelaku korupsi.

Potret kelam putusan PK selama ini pun turut menjadi sorotan, data ICW menyebutkan sejak tahun 2007 sampai tahun 2018 ada 101 narapidana yang dibebaskan, 5 putusan lepas, dan 14 dihukum lebih ringan daripada tingkat pengadilan pada fase peninjauan kembali.

"Tren yang kerap kali menghukum ringan pelaku korupsi harus menjadi evaluasi serius bagi MA, karena lambat laun akan semakin menurunkan kepercayaan publik pada lembaga peradilan," ucapnya.

Maka dari itu ICW menuntut agar Mahkamah Agung menolak setiap permohonan PK yang diajukan oleh terpidana korupsi dan KPK mengawasi jalannya persidangan serta Hakim yang memeriksa PK terpidana korupsi.

KEYWORD :

Permohonan PK Terpidana Korupsi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :