Kamis, 25/04/2024 21:03 WIB

Muhammadiyah Dorong Moderasi Ekstrimisme di Indonesia

Kelompok generasi muda kurang memiliki ruang ekspresi.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu`ti. Foto: kwp/jurnas.com

Jakarta, Jurnas.com – Salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, terus mendorong moderasi ekstrimisme yang tumbuh di Indonesia dan cenderung mulai melibatkan anak-anak muda.

“Sejak awal Muhammadiyah mendorong dilakukannya moderasi ekstrimisme, bukan deradikalisasi. Ini kami sampaikan di berbagai forum,  baik nasional maupun Internasional,” kata Sekrtetaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam diskusi Empat Pilar MPR RI tentang "Menangkal Penyusupan Paham Ekstremisme di Kalangan Kaum Muda" di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (26/4/2021).

Mu’ti mengatakan, Muhammadiyah mengikuti berbagai berbagai kesepakatan internasional, bahwa istilah yang dipakai itu adalah ekstrimisme bukan radikalisme.

“Dalam diskusi internasional yang dipakai itu ada violent extremism dan non violent extremism. Nah Muhammadiyah menggunakan istilah itu, karena dari sisi analisis dan juga dari sisi identifikasinya lebih mudah dijelaskan dibanding dengan istilah radikalisme,” katanya.

Dalam kontek violent extremism, lanjut Mu’ti, ternyata faktor yang memang dominan itu adalah ideologi. Artinya, mereka yang terpapar ekstrimisme itu tidak berarti kelompok yang secara ekonomi tidak diuntungkan,  tetapi memang kelompok yang memiliki aspirasi-aspirasi tertentu,  baik menyangkut idealisme bentuk negara maupun idealisme politik dan berbagai idealisme anti negara yang lainnya.

Menurutnya, kemunculan ekstrimisme di Indonesia yang juga menyasar kalangan milenial dapat dilihat dari sudut pandang sisologi. Kelompok muda ini adalah kelompok yang memang dia dalam masa mencari jati diri dan mencari identitas. Dalam proses mencari jati diri ini, ketika mereka tidak mendapatkan bimbingan dari guru atau dari tokoh atau dari media yang memang bisa membawa mereka pada track yang benar, maka mereka akan mudah terpengaruh paham ekstrimisme.

Mereka juga terkadang mengalami problem dalam memahami Pancasila. Kekurangan pengetahuan tentang Pancasila itu kemudian berkelindan dengan kurangnya contoh keteladanan dari para tokoh. Akhirnya mereka menemukan contoh ideal heroisme dari tokoh-tokoh yang mereka anggap bisa menjawab kerisauan mereka  dalam pencarian makna dan jati diri.

Dalam beberapa hal, kata Mu’ti, kenapa pemahaman dan keinginan mencari ideologi non Pancasila itu terus tumbuh,  karena mereka tidak melihat bahwa dengan Pancasila ini negara makin baik, tidak melihat keadilan makin bisa dirasakan oleh semua orang,  dan keamanan bisa dinikmati oleh siapa saja.

“Kurangnya contoh itu dan kemudian observasi terhadap realitas yang menurut mereka bertentangan dengan idealisme mereka, itulah yang kemudian menjadi pembenar untuk mereka melakukan sesuatu,” katanya.

Penyebab ekstrimisme lainnya, kelompok generasi muda kurang memiliki ruang ekspresi. Mereka lebih banyak terkurung oleh gadget dan komputer, kurang berkesempatan untuk mengekspresikan dirinya dalam bentuk karya,  apakah karya ilmiah,  karya seni, olah raga, dan sebagainya.

Waktu mereka sekarang sebagian besar itu habis di ruang tertutup. Mereka lebih asik menggunakan gadget  dan menyendiri di kamar daripada berinteraksi dengan teman sebaya.

“Sehingga ruang-ruang aktualisasi itu perlu kita buka  untuk mereka bisa bertemu dengan teman sebaya secara fisik, dibanding dengan bertemu sebaya secara virtual,” katanya.

Menurut Mu’ti perlu ada bagaimana negara mengatasi atau secara sadar dan sungguh-sungguh menjadikan violent extremism dan terorisme ini menjadi masalah bersama.

“Sekarang ini kan pendekatannya pendekatan eksternal dan formal, bahkan pendekatan proyek. Kalau seperti ini terus tidak akan berhasil. Perlu ada pendekatan semesta partisipatif ,” tutur Mu’ti.

Pendekatan semesta partisipatif adalah membangun sebuah kesadaran kolektif,  bahwa kekerasan berbasis ekstrimisme dan terorisme ini masalah bersama. Bukan hanya masalah BNPT dan Densus.

“Kemudian dorong juga berbagai komunitas, seperti olahraga, seni, budaya, musik, agama, termasuk wartawan untuk menjadi bagian dari langkah semesta partisipatif itu,” tutupnya.

KEYWORD :

muhammadiyah pancasila




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :