Selasa, 21/05/2024 06:28 WIB

Raden Mas Panji Sosrokartono dalam Pandangan Praktisi Hukum dan Budaya

RMP Sosrokartono lahir di Jepara pada 10 April 1877 dan meninggal pada usia 75 tahun di Bandung, 8 Februari 1952.

Raden Mas Panji (RMP) Sosrokartono. Foto: dok. jurnas

JAKARTA, Jurnas.com – Raden Mas Panji (RMP) Sosrokartono dikenal sebagain telektual berwawasan luas. RMP Sosrokartono memperperjuangkan apa yang ada dalam hati dan pikirannya.

Ia adalah wartawan peliput Perang Dunia I di Eropa, menguasai 37 bahasa, seorang penerjemah di Liga Bangsa Bangsa (PBB), seorang guru, ahli kebatinan Indonesia, seorang filsuf, dan sufi kebatinan Jawa.

Demikian praktisi hukum dan budaya Agus Widjojanto melihat sosok kakak kandung Raden Ajeng (RA) Kartini tersebut, melalui catatannya yang disampaikan kepada jurnas.com di Jakarta, Selasa (5/9/2023).

RMP Sosrokartono lahir di Jepara pada 10 April 1877 dan meninggal pada usia 75 tahun di Bandung, 8 Februari 1952.

Sosrokartono muda diketahui meninggalkan tanah air setelah lulus sekolah menengah di Semarang dalam usia 21 tahun.

RMP Sosrokartono adalah anak ke-empat dari Bupati Jepara RM Ario Sosrodiningrat.

Ia menjadi inspirasi adik kandungnya RA Kartini untuk menulis surat korespondensi kepada pejabat di Belanda dengan judul `Habis Gelap Terbitlah Terang`.

Buku yang berisikan soal emansipasi bagi wanita agar mendapat pendidikan dan hak yang sama dengan laki laki.

RMP Sosrokartono dijuluki `Si Jenius dari Timur` dan `Pangeran dari Jawa` oleh orang-orang Eropa sebelum Perang Dunia II. Lulusan Universitas Leiden Belanda itu terkenal dengan ucapannya sebagaimana biografi RMP Sosrokartono karya Solichin Salam (1987).

Ucapannya yang sangat terkenal dan menggoncangkan Eropa saat itu adalah: Dengan tegas saya menyatakan diri sebagai musuh dari siapapun yang akan membikin kita sebagai Pribumi Bumi Putra, menjadi Bangsa Eropa yang akan menginjak injak tradisi serta adat istiadat kebiasaan leluhur yang suci, dan selama matahari dan rembulan bersinar, maka mereka akan saya tentang.

Seorang insinyur berkebangsaan Belanda, Ir Heyning, pernah menyarankan agar RMP Sosrokartono mengambil kuliah ambil jurusan tehnik di Delft University of Technology. Sehingga kelak jika sudah selesai bisa membantu kota kelahiran RMP Sosrokartono di Jepara yang saat itu diprediksi akan kekurangan air dalam saluran irigasi untuk pertanian.

Akan tetapi, hati kecil RMP Sosrokartono merasa tidak cocok dan ia memutuskan pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden Belanda.

Dalam buku "Menumbuhkan Sikap Patriotisme Membangun Karakter Bangsa, RMP Sosrokartono juga diketahui masuk dalam daftar redaksional penyusunan buku yang dikirim oleh Indische Vereeniging atau Perhimpunan Pelajar Mahasiswa Hindia (Indonesia) kepada Boedi Oetomo di tahun 1908.

Sementara Sumidi Adisasmita dalam bukunya "Wasiat peninggalan Jiwa Besar kaliber Internasional RMP Sosrokartono" menulis bahwa satu satu mahasiswa yang berhasil lulus ujian tes penterjemah artikel panjang dalam bahasa Inggris, Perancis dan Rusia, hanya RMP Sosrokartono yang lulus seleksi.

Saat awal-awal meletusnya Perang Dunia II, Sosrokartono memutuskan pulang untuk menemui guru spiritualnya di Mojoagung, Jombang Jawa Timur.

Setelah bertemu guru spiritualnya, pandangan dan gaya hidup Sosrokartono berubah. “Dia meninggalkan seluruh harta dan jabatannya yang ada di Eropa dan memutuskan pulang untuk mengabdi kepada bangsanya,” kata Agus Widjojanto.

Padahal, Mohammad Hatta dalam Memoir (1979) meyakini bahwa gaji yang diterima Sosrokartono saat menjadi jurnalis The New York Herald Tribune dan penerjemah dari Liga Bangsa Bangsa sangat besar untuk ukuran jaman itu. Gajinya saat itu berkisar sekira USD1.250.

Namun Sosrokartono tetap memutuskan pulang sehingga para pejabat pemerintah Hindia Belanda merasa curiga. Bagaimana mungkin seorang bangsawan Jawa yang sangat cerdas, menguasai 37 bahasa, dan mempunyai jaringan kuat di Eropa mau hidup di tanah kelahirannya.

Belanda curiga Sosrokartono punya rencana untuk menggalang kemerdekaan. Oleh sebab itu, setiap saat para intel-intel Belanda selalu mengawasi, hingga akhirnya timbul inisiatif untuk menawarinya pekerjaan. Akan tetapi Sosrokartono menegaskan penolakannya dengan alasan ingin mengajar bangsanya agar menjadi bangsa yang tetap punya karakter ketimuran .

Karena penolakannya tersebut, ia kemudian harus berurusan dengan Christiaan Snouck Hurgronje dan difitnah sebagai orang berpaham komunis.

Christiaan Snouck Hurgronje sendiri merupakan ilmuwan besar dan disebut-sebut sebagai mata-mata kolonial Belanda yang menyatu dengan masyarakat Nusantara demi berbagai informasi intelijen.

Terkait tuduhan dirinya berpaham komunis, Sosrokartono pernah menyatakan pada sahabatnya yang mantan menteri kebudayaan Belanda Henrij Abendonan. Saya bersumpah atas kubur ayah saya dan Kartini, bahwa saya tidak sekalipun pernah menganut paham Komunis, dan tidak lebih yang saya inginkan hanya bekerja dan mengabdi untuk pendidikan mental Anak Bangsaku sendiri.

Setelah Belanda menyerah dalam perang dunia kedua dan Jepang masuk, kesehatan Sosrokartono mengalami penurunan dan terserang stroke.

Dikutip dari buku "Wajah Bandung Tempo Doeloe" (1984) karya Haryoto Kunto, pernah suatu ketika utusan dari Ir. Soekarno datang dan bertanya kepada Sosrokartono.

Dimana Soekarno menanyakan soal peluang Indonesia bisa merdeka. Dengan tegas Sosrokartono menjawab bahwa Indonesia Pasti Merdeka.

Jawaban dari ahli kebatinan ternama, seorang sufi Jawa dan filsuf itu di kemudian hari memang terjadi. Indonesia Merdeka pada tahun 1945.

Sebagai seorang ahli kebatinan Jawa, Sosrokartono terkenal dengan ilmunya yang bernama Catur Murti. Catur artinya empat dan Murti adalah pengabdian diri. Adapun empat pengabdian diri itu ada pada tubuh, yakni pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan.

Keempatnya ditekankan harus lurus dan menjurus pada huruf Alif dan hadir sebagai situasi puncak ketidaksadaran maupun kesadaran, atau melebur yang mempunyai makna sangat sakral, atau tidak terpisahkan alias manunggal seperti halnya penjabaran Alif, Lam, Mim, Ra` Nur Muhammad.

Semuanya sebagai satu-kesatuan tunggal untuk mencapai Hakekat Makrifatullah. Hal itu juga yang kemudian dimanfaatkan Sosrokartono sebagai media pengobatan bagi masyarakat di Kota Bandung dan sekitarnya, medio tahun 1945 - hingga 1950.

RMP Sosrokartono adalah peletak dasar pendidikan Karakter Bangsa. Ia pernah mengajar pada perguruan Taman Siswa. Ia terpanggil untuk mencintai bangsanya dengan mencintai budaya dan adat istiadat sebagai tata hidup luhur dari para leluhur. Tata hidup luhur ini disebutkan dia bagian dari harga diri dan ruhnya Bangsa Merdeka. Bangsa yang tidak suka bangsanya dijajah bangsa lain dan berjuang dengan caranya sendiri.

Falsafah dari SMP Sosrokartono yang hingga kini menjadi pedoman bagi para pini sepuh dalam pengajaran budi pekerti terhadap anak-anaknya adalah prinsip hidup Sugih Tanpo Bondo (kaya hati tanpa harus harta), Digdoyo Tanpo Aji (tak terkalahkan tanpa kesaktian), dan Ngluruk Tanpo Bolo (menyerbu musuh tanpa pasuka).

Selanjutnya Menang tanpo ngasorake (Menang tanpa merendahkan lawan), Trima Mawi Pasrah (menerima dan pasrah akan takdir), Suwung Pamrih Tebih Ajrih (kalau tanpa pamrih maka tidak ada ketakutan pada diri kita), serta Langgeng Tan Ono Susah Tan Ono Bungah (Seterus nya hidup selalu ada sedih dan gembira).

RMP Sosrokartono wafat pada 8 Februari 1952 di Bandung. Ia dikebumikan di pemakaman keluarga besarnya di Desa Kaliputu, Kota Kudus, Jawa Tengah.

Urip Kuwi Urup, RMP Sosrokartono adalah cahaya rembulan yang menyinari kegelapan malam saat jamannya.

“Semoga bisa menjadi inspirasi bagi generasi saat ini dan generasi mendatang untuk selalu menjaga dan mencintai bangsa, budaya dan adat istiadat. Apalagi, masalah karakter bangsa di era reformasi ini dianggap bangsa ini sudah mulai kehilangan jati dirinya,” ujar Agus Widjojanto.

Dimana budaya luar sangat deras masuk ke segala lini kehidupan bangsa, baik sosial budaya, hingga politik yan menghalalkan segala cara.

“Untuk memberikan pencerahan kepada generasi muda milenial, saya coba tulis tentang sejarah hidup salah satu inspirator pembangun karakter bangsa di era sebelum Indonesia Merdeka. Utamanya saat berdirinnya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 di Jakarta,” tutup Agus Widjojanto.

KEYWORD :

RMP Sosrokartono Agus Widjojanto




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :