Sabtu, 20/04/2024 02:00 WIB

Jaksa Agung Didesak Eksekusi Yayasan Supersemar dan Gugat Yayasan Orba

Desakan ini disampaikan bertepatan dengan momentum peringatan 22 tahun tumbangnya Presiden ke-2 RI, Soeharto pada Reformasi Mei 1998

Bandot DM

Jakarta, Jurnas.com - Koordinator Forum Diskusi Kebangkitan Indonesia (Forum DKI) Bandot DM mendesak Jaksa Agung agar segera mengeksekusi Yayasan Supersemar dan melakukan gugatan terhadap Yayasan Orde Baru.

Desakan ini disampaikan bertepatan dengan momentum peringatan Reformasi pada Mei, dimana tonggak sejarah runtuhnya Orde Baru dibawah pimpinan Presiden ke-21 RI, Soeharto tumbang pada 1998.

Bandot DM mengingatkan, pada 21 Mei 1998 para mahasiswa yang sudah tiga malam menginap di gedung DPR-RI bersorak sorai. Pagi itu sekira pukul 10.00 WIB Presiden Suharto meletakkan jabatan.

Patron Orde Baru tersebut memilih mundur dari jabatannya akbiat tekanan Mahasiswa yang sudah 3 malam membanjiri gedung parlemen dan melumpuhkannya. Selain juga aksi subversif dari kroninya yang diam-diam balik badan.

Bagi Bandot, mundurnya Suharto ternyata tidak serta merta meruntuhkan Orde Baru. Alih-alih roboh, elemen Orde Baru justru berdiaspora yang berbagai lini. Termasuk menginfiltrasi partai politik.

Kata Bandot, salah satu ciri Orde Baru yang masih melekat adalah maraknya korupsi. Bahkan praktik korupsi pasca reformasi ternyata lebih tersebar dan terdesentralisasi. Sehingga wabah ini merata.

Padahal, lanjut Bandot, salah satu produk reformasi adalah Tap MPR No. XI/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal ini diperkuat dengan TAP MPR VIII/2001 tentang arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Bandot DM yang juga Koordinator Forum Diskusi Kebangkitan Indonesia (Forum DKI) menuturkan, salah satu poin dalam TAP tersebut adalah mengusut dugaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme mantan Presiden RI. Bisa diterjemahkan sebagai mandat kepada Presiden RI untuk mengusut dugaan Korupsi Mantan Presiden Suharto.

Mandat tersebut sempat dijalankan oleh Presiden BJ Habibie, namun pengusutan berakhir penghentian perkara. Selanjutnya di masa Presiden Abdurahman Wahid, Jaksa Agung Marzuki Darusman kembali membuka kasus ini.

Pada 31 Maret 2000, kejaksaan menetapkan Soeharto sebagai tersangka atas dugaan korupsi tujuh yayasan yang dipimpinnya. Kasus dugaan korupsi Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 yayasan yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Kemudian, pada Agustus 2000, perkara masuk tahap persidangan.

Karena upaya menghadirkan Soeharto dalam persidangan selalu gagal, maka pada 11 Mei 2006 kejaksaan memilih menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Soeharto karena perkara ditutup demi hukum, yaitu gangguan kesehatan permanen pada Soeharto sehingga persidangan tidak mungkin dilanjutkan.

Pada 9 Juli 2007, Kejaksaan Agung menggugat Soeharto secara perdata. Yayasan Supersemar termasuk yang digugat jaksa. Hasilnya, pengadilan melalui berbagai putusan mulai Putusan PN sampai putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung No 140 PK/Pdt/2015 menyatakan Yayasan Supersemar terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum. MA menghukum Yayasan Supersemar mengembalikan dana sebesar Rp 4,4 triliun ke negara.

Ditegaskan oleh Bandot, gugatan perdata ini merupakan rangkaian dari upaya negara mengusut tindak pidana korupsi oleh kroni-kroni Suharto. Sehingga, upaya gugatan perdata ini pun menjadi bagian dari mandat Tap MPR XI/1998 untuk menelisik dugaan KKN kroni Suharto.

Sayangnya meskipun sudah ditetapkan menang oleh Mahkamah Agung, hingga kini Jaksa Agung belum bisa menuntaskan eksekusinya. Kejaksaan Agung tercatat telah menyita aset milik Yayasan Supersemar senilai Rp 242 miliar dan menyerahkannya ke kas negara sejak 28 November 2019. Penyitaan bagian dari eksekusi menjalankan putusan kasasi Mahkamah Agung yang mewajibkan Yayasan Supersemar membayar kepada negara sekitar US$ 315 juta.

Jaksa Agung ST Burhanudin termasuk jaksa yang paling menguasai rangkaian proses hukum ini sebab dia pernah menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara (Jamdatun) yang menangani kasus ini secara teknis. Pada 3 Juni 2013, sebagai jaksa pengacara negara ST Burhanuddin menerima Surat Pemberitahuan Putusan Kasasi Nomor: 2896K/Pdt/2009 jo Nomor 904/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel yang memenangkan Jaksa Agung sebagai pengacara negara atas gugatannya terhadap Yayasan Beasiswa Supersemar.

Di tengah ancaman krisis dan upaya pemulihan wabah pandemik Covid19, dana sebesar Rp4,4 triliun tentunya sangat signifikan dan diperlukan oleh negara. Di sisi lain hal itu juga menunjukkan keberpihakan Pemerintahan dalam menghadapi persoalan hukum dengan kroni Orde Baru.

Presiden Joko Widodo seharusnya juga menuntaskan gugatan perdata terhadap enam yayasan lain yang sudah pernah masuk dalam materi dakwaan dugaan Korupsi Mantan Presiden Suharto. Kemenangan negara atas Yayasan Supersemar mestinya segera ditindaklanjuti dengan segera melakkan gugatan serupa kepada yayasan-yayasan yang masuk dalam gugatan.

Pada momentum peringatan 22 tahun lengsernya Suharto dan suasana prihatin akibat wabah Covid19, Bandot menyebut upaya gugatan terhadap enam yayasan orde baru ini akan memperkuat posisi Presiden Jokowi dalam menjalankan amanah reformasi dan TAP MPR No. XI/1998.

"Jokowi yang dianugerahi Anak Kandung Reformasi oleh pendukungnya dari elemen mantan aktifis 98 mesti segera memberikan Kuasa kepada Jaksa Agung sebagai Jaksa Pengacara Negara untuk segera melakukan eksekusi terhadap putusan Mahkamah Agung dan melakukan gugatan terhadap enam yayasan Orba lainnya," tuntas Bandot DM.

KEYWORD :

Bandot DM Reformasi Mei 1998 Orde Baru




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :