Sabtu, 27/04/2024 10:05 WIB

Prof. Henri: Transportasi Berbasis Aplikasi Harus Bayar Pajak dan Diaudit

Pajak harus ada (bayar), semua transaksi online itu harus membayar pajak. Pada PP Perpajakan itu ada, tinggal itu dimasukkan. Bagaimanapun Negara tidak boleh dirugikan.

Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Profesor Henri Subiakto. (Foto: Dok. Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Perusahaan transportasi online harus mengikuti aturan yang ada di Indonesia, khususnya terkait pengenaan pajak pada aplikator penyedia transportasi online seperti Grab dan Gojek.

Hal itu sebagaimana diutarakan Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Profesor Henri Subiakto kepada wartawan, Jumat (3/6).

Permasalahan itu masuk dalam pembahasan Revisi UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (RUU LLAJ) di Komisi V DPR RI. Sejauh ini, yang menanggung pajak kendaraan dari mitra transportasi online baik ojek maupun taksi adalah pengemudi. Sementara beban itu belum ada di aplikator penyedia layanan.

"Pajak harus ada (bayar), semua transaksi online itu harus membayar pajak. Pada PP Perpajakan itu ada, tinggal itu dimasukkan. Bagaimanapun Negara tidak boleh dirugikan," jelasnya.

Selain permasalahan pajak, keberadaan transportasi online khususnya pada moda sepeda motor, tidak memenuhi syarat sebagai angkutan umum. Namun dalam kenyataannya keberadaan transportasi online seperti Grab dan Gojek menjadi kebutuhan masyarakat.

Menurut dia, kemunculan transportasi online berbasis aplikasi menjadi pelik. Meski tidak ada kejelasan perusahaan aplikator yang merangkap sebagai operator, Grab maupun Gojek secara sosiolologis sangat dibutuhkan masyarakat. Apalagi bagi mereka yang selama ini sudah menjadi driver mitra.

"RUU LLAJ ini yang perlu dipikirkan adalah ada perubahan-perubahan mendasar. Kalau misalnya dalam angkutan umum itu kan sepeda motor tidak boleh, sepeda motor itu bukan angkutan barang, bukan angkutan manusia, tapi dalam kenyataan sehari-hari ada kebutuhan ada faktor sosiologis, kalau itu dilarang justru menjadi masalah besar," jelas Prof. Subiakto.

Mantan Staf Ahli Kominfo 2007-2022 itu menambahkan, permasalahan lainnya adalah jika setiap aplikasi dipertentangkan dengan dunia fisik maka semuanya akan menjadi masalah. Sebagai solusi, semuanya aturannya harus mengakomodasi perkembangan jaman.

"Misalnya aplikasi online yang terkait perbankan, konten-konten dan perijinannya harus mengikuti aturan perbankan. Aplikasinya sendiri itu kan sekedar penyelenggara sistem elektronik saja," jelas Prof. Subiakto.

Anggota Komisi V DPR RI Sadewo sebelumnya mengatakan keberadaan transportasi berbasis aplikasi tidak mempunyai payung hukum. Ia juga menolak transportasi berbasis aplikasi dimasukkan dalam RUU LLAJ.

Belum lagi menyangkut rangkap perusahaan aplikator sebagai operator yang disebutnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab secara langsung memposisikan dirinya atas kewajiban dan haknya sebagai aplikator, tetapi tidak mempertanggungjawabkan kewajiban dan haknya sebagai operator.

"Mestinya dilakukan audit aplikator dan operator. Dan harus dipisahkan, aplikator itu tidak boleh merangkap sebagai operator, supaya mereka yang menggunakan teknologi juga membayar pajak. Siapapun kan harus taat, menjalankan usaha apapun," kata Sadewo.

"Jangan berdalih karena dia menggunakan teknologi yang canggih, yang bisa diterima masyarakat, yang dikatakan itu lebih menguntungkan masyarakat, lantas bebas dari kewajiban membayar pajak. Itu tidak bisa seperti itu. Jangan berdalih karena punya teknologi canggih terus bisa melakukan apa saja. Semuanya itu kan ada aturannya," sambungnya.

KEYWORD :

RUU LLAJ transportasi online pajak lalu lintas Henri Subakti Grab Gojek




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :