Kamis, 25/04/2024 00:58 WIB

Tuntutan Jaksa KPK Terhadap Nur Alam Abaikan Fakta Sidang

Salah satu ketidakakuratan yang dipaparkan oleh Basuki Wasis adalah soal kerusakan tambang ketika masa tambang itu masih berlangsung

Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif Nur Alam (kanan) bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta

Jakarta - Tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Gubernur Sultra nonaktif, Nur Alam dinilai mengabaikan fakta persidangan. Salah satu yang dinilai mengabaikan fakta sidang yakni terkait ‎penghitungan kerugian negara.

Demikian disampaikan Kuasa Hukum Nur Alam yaitu Didi Supriyanto.‎ Diketahui, salah satu dasar bagi KPK untuk menuntut pidana penjara terhadap Nur Alam selama 18 tahun lantaran telah merusak lingkungan yang berakibat negara dirugikan Rp 2,7 triliun. Nilai atas kerusakan lingkungan itu atas perhitungan Ahli, Basuki Wasis.

Didi menyanggah hal tersebut. Didi menyebut, laporan yang disajikan Basuki bertolak belakang dengan fakta sesungguhnya. Bahkan, sebut Didi, Basuki Wasis tak dapat mempertanggungjawabkan validitas laporannya. ‎

"Banyak ketidak-akuratan yang disajikan dalam laporannya yang terungkap di persidangan," ucap Didi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis, (15/3/2018).

Lebih lanjut diungkapkan Didi, salah satu ketidakakuratan yang dipaparkan oleh Basuki Wasis adalah soal kerusakan tambang ketika masa tambang itu masih berlangsung karena diminta menghitung oleh KPK. Padahal, menurut aturan dan teorinya, penilaian itu dilakukan pada saat pasca tambang atau ketika masa tambang telah berakhir.

Atas laporan Basuki Wasis itu,‎Nur Alam telah menempuh jalur hukum dan memperkarakannya ke Pengadilan Negeri Cibinong dengan register perkara nomor 47/Pdt.G/2018/PN.Cbl. ‎Basuki Wasis sebelumnya juga pernah dituntut oleh seorang terdakwa terkait dengan hasil laporannya sebagai ahli yang salah.

"Hal ini semakin menunjukkan tidak kredibelnya ahli, namun tetap digunakan KPK," ungkap Didi.

Fakta lain yang terbantahkan di muka persidangan, kata Didi, terkait  kewenangan BPKP yang menghitung kerugian keuangan negara sebesar Rp 1,5 triliun. BPKP dalam hal ini dinilai ‎telah melanggar sejumlah peraturan perundangan yang menentukan bahwa instansi yang berwenang melakukan perhitungan kerugian keuangan negara Adalah BPK.

Hal itu termaktub dalam ‎Pasal 23 E (1)  UUD 1945;‎ UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK; UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; Perpres No 192 Tahun 2014 Tentang BPKP; dan SEMA No 4 Tahun 2016. BPKP juga melanggar asas asersi, sebagaimana diwajibkan menurut Peraturan BPK No 1 Tahun 2017.

Sebab itu, ditegaskan Didi, ‎kerugian negara yang dihitung oleh KPK bukan berdasarkan factual loss, tetapi hanya berdasarkan potential loss.‎ Semua sanggahan atas tuduhan dan tuntutan jaksa KPK dituangkan dalam nota pembelaan Nur Alam dan tim kuasa hukum.

"Padahal berdasarkan putusan MK, ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 telah mengalami perubahan prinsipil dari delik formil menjadi delik materiil yang membawa konsekuensi harus ada kerugian negara secara nyata dan bukan sekedar potensi kerugian," tandas Didi.

Sebelumnya, Jaksa KPK menuntut agar majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 18 tahun dengan denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan terhadap Nur Alam.

Jaksa KPK juga menuntut majelis hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebanyak Rp 2,7 miliar. Jaksa KPK juga menuntut agar hakim menjatuhkan hukuman pidana tambahan berupa pencabutan hak politik baik dipilih maupun memilih selama lima tahun pasca menjalani masa hukuman.
‎‎
Tuntutan itu diberikan lantaran jaksa KPK meyakini jika Nur Alam terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 Juncto Pasal 18 dan Pasal 12B Juncto Pasal 64 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana.

KEYWORD :

Kasus Korupsi Nur Alam Sulawesi Tenggara




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :