RJ Lino dan Setya Novanto
Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai bermuka dua dalam menangani kasus dugaan tindak kejahatan korupsi di tanah air. Bagaimana dua wajah KPK dalam penanganan dugaan perkara korupsi?
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menjelaskan, bagaimana institusi pimpinan Agus Rahardjo Cs itu menangani kasus dugaan korupsi yang menyeret mantan Dirut BUMN
RJ Lino dan Ketua DPR
Setya Novanto.
"Dan mumpung lagi ramai, mari lihat bagaimana perbedaan penanganan kasus
RJ Lino (Dirut BUMN) dan kasus
Setya Novanto (Ketua DPR)," kata Fahri, seperti dikutip dalam akun twitternya di @fahrihamzah, beberapa waktu lalu.
Saat itu, kata Fahri, Bareskrim Polri melakukan penyidikan atas pengadaan 10 unit mobile crane tahun 2014 oleh
RJ Lino sebagai dirut PT Pelindo II.
"Lalu Bareskrim Polri yang dipimpin oleh Budi Waseso melakukan penggeledahan ke PT Pelindo II pada 28 Agustus 2015," jelasnya.
Saat digledah
RJ Lino mengontak seorang menteri dan berkata: “Mereka (polisi) cari file, ya itu tugas. Mereka saya hormatilah. Tapi yang saya tidak bisa itu begini-ini. Harusnya dipanggil dulu, ditanya dulu dicek dulu ada apa."
"Terlihat
RJ Lino menginginkan agar tidak ada kegaduhan, ini rasional karena pasar tidak suka gaduh,
RJ Lino pimpinan sebuah korporasi. Dia bukan pegawai negeri meski dia kerja di perusahaan negara," katanya.
Fahri mengatakan, Berdasarkan audit internal yang dilakukan Pelindo II serta hasil penggeledahan yang dilakukan penyidik Bareskrim, Budi Waseso menemukan bahwa sementara ditaksir kerugian negara mencapai Rp 45 miliar.
Lalu, 24 Februari 2016 Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes (Pol) Agung Setya menyebutkan Total kerugian negara atas pengadaan 10 unit mobile crane sebesar Rp 37.970.277.778, terlihat angka tersebut begitu presisi sampai satuan terkecil.
"Atas penggeledahan tersebut, Budi Waseso dikontak oleh seorang pembesar di negeri ini dari Seoul menanyakan perkara tersebut dan menyampaikan bahwa kebijakan korporasi tak boleh dipidana," terang Fahri.
Terkait permintaan pejabat itu, lanjut Fahri, Budi mengaku tidak bisa melakukannya. Dia beralasan jika keinginan itu dipenuhi maka pidana berbentuk kebijakan tidak bisa diusut. "Tidak bisa dong, jika pidananya tak diusut berarti tidak boleh lagi pelanggaran pidana diusut."
"Sampai hari ini, penyelidikan Mabes Polri tak kunjung naik status menjadi penyidikan. Kita tahu Buwas tiba-tiba dipindahkan ke BNN dan entah oleh siapa kasus itu gak jalan. Lalu
KPK jadi harapan," tegasnya.
Di sisi yang lain, jika polisi melakukan penyelidikan atas pembelian 10 Unit Mobil crane oleh PT Pelindo II pada tahun 2014. Maka,
KPK melakukan penyelidikan pengadaan 3 unit quay container crane (QCC) tahun 2010 yang juga dilakukan oleh
RJ Lino di PT Pelindo II.
"Setelah memanggil ahli dari ITB dan BPKP dalam penyelidikan,
KPK menetapkan
RJ Lino sebagai tersangka pada tanggal 18 Desember 2015 karena melakukan penunjukan langsung," kata Fahri.
RJ Lino disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hingga hari ini, dua tahun kurang satu bulan dari penetapan
RJ Lino sebagai tersangka, namun Lino tak kunjung ditahan, Lino masih bebas berjalan tidak hanya di dalam negeri namun juga ke luar negeri karena tidak dicekal.
"Febri Juru Bicara
KPK mengatakan di banyak perkara yang menggunakan Pasal 2 dan 3 memang butuh waktu untuk membuktikan atau menghitung lebih lanjut indikasi kerugian keuangan negara. (ingat, SN juga kena pasal ini)," terang Fahri.
Menurutnya, belum tuntasnya menghitung kerugian negara inilah yang membuat
KPK belum juga menahan
RJ Lino, dan penggunaan pasal 2 dan 3 UU Tipikor membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan perhitungan kerugian negara.
"Padahal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI telah menyimpulkan adanya indikasi kerugian keuangan negara pada PT Pelindo II minimal sebesar US$ 306 juta ekuivalen Rp 4,08 triliun (kurs Rp 13.337/US$)," tegasnya.
Simpulan tersebut merupakan hasil pemeriksaan investigatif atas perpanjangan kerja sama pengelolaan dan pengoperasian pelabuhan Pelindo II berupa kerja sama usaha dengan PT Jakarta International Container Terminal (PT JICT).
Selanjutnya Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPR tentang Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka telah menyerahkan hasil temuan itu kepada
KPK 7 Juli 2017. "Sampai hari ini, sekali lagi kasus ini masih mengambang. RJ lino masih bebas berkeliaran tanpa penjelasan," Fahri menegaskan.
Di sisi yang lain lagi, ada
Setya Novanto seorang Ketua DPR RI. Dimana, 31 Oktober 2017
KPK menetapkan Novanto sebagai tersangka kasus e-KTP untuk yang kedua kalinya. Novanto disangka melakukan pelanggaran terhadap pasal yang sama yang disangkakan pada
RJ Lino.
"Kita tidak sedang membela SN dan mengecam RJL. Saya tidak punya urusan bisnis apapun dengan keduanya. Kita sedang melakukan pertanyaan yang menjadi hak warga negara dalam demokrasi. Tentang penggunaan uang dan kewenangan," kata Fahri.
Novanto disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke 1. Sebelumnya,
KPK pernah menetapkannya sebagai tersangka juga disangkakan melakukan pelanggaran pasal yang sama yaitu Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Tipikor.
"Dan Novanto memenangkan prapradilan dengan konsekwensi
KPK tidak boleh lagi mengusut kasus yang sama. Atas keputusan itu harusnya
KPK segera mengeluarkan SP3 tetapi karena tidak punya kewenangan, harusnya dilimpahkan ke Kejaksaan seperti kasus BG," jelasnya.
Namun, apesnya Novanto.
RJ Lino setelah dua tahun menjadi tersangka tidak juga ditahan karena butuh waktu lama untuk menghitung kerugian negara. "Novanto langsung ditahan hanya berselang 15 hari setelah bebas dan baru panggilan pertama sebagai tersangka," tegasnya.
Dalam kasus e-KTP, kata Fahri, dua lembaga resmi auditor negara secara kelembagaan mengatakan tidak ada kerugian negara. "Dua lembaga resmi ini dikalahkan oleh ocehan Nazaruddin yang punya motif kerjasama dengan
KPK," ujar Fahri.
Selain itu, Fahri menjelaskan, dalam fakta persidangan 10/11/2017, mantan Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah BPKP, Iman Bastari mengatakan BPKP tidak menemukan ada masalah dalam proyek e-KTP.
Hasil audit resmi BPK pada 2013 atas program e-KTP tahun 2011 dan 2012 (setelah e-KTP mulai diterapkan) hanya menemukan potensi kerugian negara Rp 24,90 miliar. Potensi itu bisa hilang jika pihak pelaksana memperbaiki kewajibannya.
"Rekomendasi BPKP dan BPK sudah diselesaikan dengan baik oleh kemendagri, proyek EKTP pun ditutup dengan status clean and clear. Ini adalah pendapat resmi karena memang persoalan pokok proyek EKTP sudah selesai," kata Fahri.
Namun,
KPK terus menyebutkan ada kerugian negara Rp 2,3 triliun dalam kasus e-KTP. Angka Rp 2,3 triliun ini kemudian membuat kasus e-KTP menjadi kolosal dan seolah melibatkan banyak orang. Khususnya DPR tempat bancakan uang rakyat.
"Dalam kasus Novanto, keterangan
KPK bahwa butuh waktu untuk menghitung kerugian negara atas sangkaan pasal 2 dan 3 UU Tipikor sebagaimana dalam kasus
RJ Lino tak relevan lagi," tegasnya.
"
KPK menggunakan keterangan seorang auditor dari BPKP (konon mantan pegawai
KPK) dalam menentukan kerugian negara. Canggih sekali seorang auditor tersebut mengalahkan temuan dua lembaga auditor resmi. Personal mengalahkan lembaga," ungkapnya.
KEYWORD :
Setya Novanto Korupsi e-KTP KPK RJ Lino