Kamis, 16/05/2024 03:11 WIB

Sespri Edhy Prabowo Diduga Pinjam Perusahaan Agar Dapat Izin Ekspor Lobster

Hal tersebut terkuak saat tim penyidik memeriksa dua saksi terkait kasus dugaan suap ekspor benih lobster.

Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri

Jakarta, Jurnas.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelisik peminjaman perusahaan yang diduga dilakukan tersangka Andreau Pribadi Misanta, sekretaris pribadi mantan Menteri Keluatan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, peminjaman perusahaan diduga dilakukan Andreau agar mendapatkan izin sebagai ekportir di Kementerian Keluatan dan Perikanan (KKP).

Hal tersebut terkuak saat tim penyidik memeriksa dua saksi dari pihak swasta bernama Bachtiar Tamin dan Baary Elmirfak Hatmaja pada Selasa, (9/2) kemarin. Dimana, keduanya diperiksa untuk melengkapi berkas penyidikan Edhy Prabowo dalam kasus dugaan suap izin ekspor benur benih lobster di KKP.

"Kedua saksi tersebut dikonfirmasi terkait dengan dugaan penggunaan perusahaan milik para saksi oleh AMP (Andreau Misanta Pribadi) dari tahun 2018 untuk mendapatkan izin sebagai eksportir benur di KKP," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (10/2/2021).

Sementara saksi yang dijadwalkan hadir dan diperiksa bersama dua saksi tersebut tak memenuhi panggilan, alias mangkir. Mereka adalah Sugianto (Wiraswasta), Habrin Kaye (PNS-Kepala Karantina Jakarta), Dian Ludin (Wiraswasta), dan Bong Lannysia (Wiraswasta).

"Tidak hadir dan tanpa konfirmasi. Tim penyidik KPK akan segera kembali  mengirimkan surat panggilan dan KPK tetap menghimbau para saksi untuk kooperatif hadir sesuai dengan jadwal pemanggilan selanjutnya," kata Ali.

Dalam kasus ini, KPK menetaokan enam orang tersangka sebagai penerima suap yakni eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo; stafsus Menteri KP, Safri dan Andreau Pribadi Misanta; sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin; Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; dan staf istri Menteri KP, Ainul Faqih.

Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan tersangka pihak pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito.

Ia disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dalam kasusnya, Edhy Prabowo diduga melalui staf khususnya mengarahkan para calon eksportir untuk menggunakan PT ACK bila ingin melakukan ekspor. Salah satunya adalah perusahaan yang dipimpin Suharjito.

Perusahaan PT ACK itu diduga merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy. PT ACK diduga memonopoli bisnis kargo ekspor benur atas restu Edhy Prabowo dengan tarif Rp1.800 per ekor.

Dalam menjalankan monopoli bisnis kargo tersebut, PT ACK  menggunakan PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sebagai operator lapangan pengiriman benur ke luar negeri. Para calon eksportir kemudian diduga menyetor sejumlah uang ke rekening perusahaan itu agar bisa ekspor.

Uang yang terkumpul diduga digunakan untuk kepentingan Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosyati Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020. Sekitar Rp750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton, serta baju Old Navy.

Edhy diduga menerima uang Rp3,4 miliar melalui kartu ATM yang dipegang staf istrinya. Selain itu, ia juga diduga pernah menerima 100 ribu dolar AS yang diduga terkait suap. Adapun total uang dalam rekening penampung suap Edhy Prabowo mencapai Rp9,8 miliar.

KEYWORD :

KPK Edhy Prabowo Menteri Kelautan dan Perikanan Iis Rosyita Ekspor Benur




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :