Sabtu, 27/04/2024 15:41 WIB

Riset Kuantitatif Berkontribusi bagi Pengembangan Peran Agama

Menurut Idris, riset-riset kuantitatif atas fenomena agama saat ini semakin penting dilakukan untuk proses pendewasaan hidup beragama.

Penulis buku “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google.” Ahmad Gaus (tengah). (Foto: Dok. Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Isu-isu keagamaan tidak harus selalu dibawa ke wilayah keimanan yang bersifat eksklusif dan antikritik. Namun perlu didialogkan secara terbuka dengan fakta-fakta dari temuan penelitian.

Dengan begitu apa yang kita namakan isu agama pada saat bersamaan juga menjadi isu keilmuan. Sehingga setiap orang dari berbagai disiplin ilmu dapat berpartisipasi memberi kontribusi secara positif bagi pengembangan peran agama, tidak harus tokoh agama.

Demikian rangkuman pendapat dari beberapa pakar dalam diskusi bedah buku menjelang berbuka puasa di Center for the Study of Religion and Culture (CSRC), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, belum lama ini.

Acara itu juga dihadiri oleh para dosen, peneliti, dan mahasiswa UIN Jakarta. Buku yang dibedah merupakan karya Ahmad Gaus berjudul “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google.”

Tampak dalam acara tersebut Dr. Idris Hemay (Direktur CSRC UIN Jakarta), Dr. Yenny Ratnayuningsih, Dr. Irfan Abu Bakar, Dr. Faisal Nurdin, ketiganya akademisi dari UIN Jakarta.

Menurut Idris, riset-riset kuantitatif atas fenomena agama saat ini semakin penting dilakukan untuk proses pendewasaan hidup beragama. “Karena dalam beberapa waktu belakangan muncul tendensi kegairahan beragama yang meningkat tajam namun lebih mengedepankan sikap emosional ketimbang sikap rasional,” terangnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (15/4).

Ditambahkan, apa yang dilakukan Denny JA dengan menampilkan data-data yang buram dalam kehidupan agama, sejatinya bukan sekadar data tetapi seruan untuk berbuat sesuatu berdasarkan data itu. Misalnya, data bahwa di negara-negara yang masyarakatnya menganggap agama itu sangat penting justru tingkat korupsinya sangat tinggi, indeks pembangunan manusianya sangat buruk, tingkat kesejahteraan rakyatnya sangat rendah.

“Hasil riset seperti ini kan sebenarnya penting, pertama untuk introspeksi apa yang salah dengan cara beragama kita selama ini, dan kedua penting bagi pengembangan peran agama itu sendiri di masyarakat,” jelas Idris.

Sementara itu Irfan Abu Bakar menambahkan bahwa tidak ada masalah ilmuwan sosial seperti Denny JA memasuki wilayah agama yang selama ini seakan hanya monopoli para ulama dan sarjana UIN.

“Terlebih lagi, Denny JA membawa pendekatan baru studi agama melalui pendekatan kuantitatif,” tegasnya.

Sebelumnya, dalam pemaparan bukunya, Gaus mengajak peserta diskusi untuk memperhatikan kritik Denny JA terhadap dua kecenderungan ekstrem: Pertama, pendekatan tekstual yang menjadikan agama sejenis konstitusi ruang publik yang memaksa orang dengan tafsir tertentu.

“Kedua, pendekatan yang sama sekali mengabaikan harta kartun agama. Padahal, saat ini terdapat 4300 agama yang apabila diperlakukan sebagai warisan kultural milik bersama akan menambah kekayaan spiritual umat manusia,” terangnya.

Banyaknya agama di dunia ini, menurut Gaus, bukan membuktikan bahwa manusia membutuhkan banyak agama. Ia hanya menunjukkan bahwa manusia yang berbeda-beda membutuhkan agama yang berbeda-beda. Sebab tidak mungkin kita membayangkan semua orang di berbagai belahan dunia memeluk agama yang sama. Sedangkan bahasa mereka berbeda. Budaya mereka berbeda. Ras dan bangsa mereka berbeda.

Setiap pemeluk agama misi seperti Islam dan Kristen, lanjut Gaus lagi, terdorong oleh imannya untuk menyebarkan agama mereka kepada sebanyak mungkin orang. Kalau perlu, semua orang di dunia ini berpindah ke agamanya. Karena agamanya adalah jalan keselamatan. Sedangkan yang lain adalah kesesatan.

Klaim keselamatan ini sekarang menjadi salah satu penghalang bagi umat agama untuk saling berinteraksi. Bahkan telah muncul kecenderungan bahwa agama mulai dipandang sebagai pemicu konflik dan permusuhan sosial. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, di mana ada kekerasan, perang, dan terorisme, maka di balik itu ada agama yang berperan menyulut apinya. Inilah yang membuat masyarakat modern menjadi skeptis terhadap agama.

Berdasarkan itu, Gaus menyambut baik gagasan Denny JA untuk memperlakukan agama yang berjumlah 4300 itu sebagai warisan kultural milik bersama umat manusia, karena itu akan menambah kekayaan dan khazanah spiritual. Ini merupakan antitesa terhadap pandangan skeptis para sarjana bahwa cepat atau lambat agama akan ditinggalkan oleh masyarakat modern, dan hanya akan dianggap sebagai dongeng masa silam.

Gagasan terpenting Denny JA yang patut disambut baik, tambah Gaus, adalah bahwa agama merupakan dokumen peradaban yang mesti dihargai. Bahkan mereka yang tidak lagi percaya pada agama, termasuk kelompok ateis, masih dapat menikmati agama sebagai kekayaan kultural, sebagaimana mereka menikmati kekayaan adat istiadat yang berbeda-beda.

“Jadi persoalan manusia dan masyarakat modern bukanlah hidup dengan agama atau tanpa agama, melainkan mengubah persepsi terhadap agama dari dogma menjadi budaya, dari doktrin menjadi peradaban. Dengan begitu penduduk bumi akan memiliki masa depan yang lebih baik dengan saling menghargai khazanah bersama umat manusia,” tandasnya.

 

KEYWORD :

Bedah buku CSRC UIN Jakarta Denny JA agama




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :