Sabtu, 27/04/2024 13:45 WIB

Dugaan Kartel Minyak Goreng Tidak Didukung Bukti Kuat

Tindakan menaikan harga suatu barang atau jasa dalam kegiatan usaha merupakan tindakan yang biasa dilakukan. 

Minyak goreng mereka MINYAKITA. (Foto: Kemendag)

JAKARTA, Jurnas.com - Bukti-bukti yang digunakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam perkara dugaan kartel minyak goreng tidak kuat untuk menyatakan ada pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Demikian disampaikan Ketua Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI)Ditha Wiradiputra pada acara Seminar Kajian Penegakan Hukum Persaingan Usaha dalam Penjualan Minyak Goreng Kemasan di Indonesia, Jakarta, Senin (3/4).

Dalam kajian tersebut, dia mengatakan, kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng yang terjadi pada akhir 2021 hingga pertengahan 2022 lebih disebabkan antara lain oleh kenaikan harga crude palm oil (CPO) dan kebijakan pemerintah yang tidak tepat, khususnya penerapan harga eceran tertinggi (HET).

"Sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pada akhirnya malah mengakibatkan kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng. Kebijakan HET minyak goreng bukan saja merugikan produsen karena harus menjual di bawah harga keekonomian, tetapi juga berdampak negatif pada rantai distribusi minyak goreng," kata dia.

Penetapan HET di bawah harga keekonomian membuat oknum-oknum distributor sengaja menimbun produk dan menjual minyak goreng dengan harga yang jauh di atas HET. Di lain pihak, masyarakat terpengaruh secara psikologis dan bertindak irasional dalam melakukan pembelian minyak goreng kemasan (panic buying).

"Sementara, kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) tidak bisa mengatasi kelangkaan dan justru menimbulkan ketidakpastian dan inefisiensi perdagangan karena proses distribusi minyak goreng di luar kendali produsen," ujar dia.

Kenaikan harga yang diikuti kelangkaan minyak goreng di tahun 2021 hingga 2022 telah mendorong KPPU melakukan penyelidikan hingga pemeriksaan adanya indikasi pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c dalam Undang-Undang Nomor 5/1999 oleh 27 perusahaan minyak goreng kemasan.

Para Terlapor diduga membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober-Desember 2021 dan periode Maret-Mei 2022, dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari-Mei 2022.

Investigator KPPU dalam Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) mendalilkan dugaan pelanggaran Pasal 5 tersebut berdasarkan bukti adanya perjanjian di antara pelaku usaha, yaitu adanya perilaku bersama-sama (concerted) untuk menaikan harga minyak goreng pada periode Oktober-Desember 2021 dan periode Maret- Mei 2022.

Selain itu, adanya pemberitahuan secara serentak dan bersamaan kepada distributor dan/atau peritel yang didukung oleh alat bukti terkait adanya komunikasi atau interaksi melalui rapat asosiasi.

Ditha mengatakan,  tindakan menaikan harga suatu barang atau jasa dalam kegiatan usaha merupakan tindakan yang biasa dilakukan. Sebagai contoh, pelaku usaha bahan bakar minyak (BBM) akan menaikan harga jual ketika harga minyak dunia meningkat, dan tindakan menaikkan harga tersebut juga dilakukan hampir bersamaan.

"Sepanjang tidak dilakukan berdasarkan kesepakatan atau perjanjian, maka tindakan tersebut bukan perbuatan yang dilarang. Artinya, tidak tepat apabila investigator KPPU menggunakan tindakan menaikkan harga secara bersamaan sebagai bukti telah terjadi perjanjian," tutur dia.

Sementara, bukti adanya komunikasi di antara pelaku ternyata hanya berbentuk rekapitulasi rapat-rapat di asosiasi, tanpa menunjukkan materi pembahasan dari rapat-rapat tersebut, khususnya pembicaraan mengenai harga. Ini tidak kuat apabila digunakan sebagai bukti adanya penetapan harga.

"Dengan demikian, bisa dikatakan unsur-unsur perjanjian maupun penetapan harga sebagaimana terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5/1999 tidak terpenuhi," simpul Ditha.

Berkaitan dengan dugaan pelanggaran Pasal 19 huruf c UU Antimonopoli, investigator KPPU dalam LDPnya menyatakan bahwa para Terlapor secara bersama-sama membatasi peredaran dan atau penjulan yang mengakibatkan kekurangan pasokan atau bahkan kelangkaan minyak goreng. Hal ini berdasarkan keterangan maupun bukti dokumen purchase order dan delivery order beberapa distributor dan peritel untuk kurun waktu 2021 - awal 2022 yang menunjukkan adanya penurunan pasokan minyak goreng kemasan.

Ditha mengatakan, bukti-bukti tersebut kurang relevan karena sejumlah pelaku usaha yang menjadi Terlapor tidak mendistribusikan dan menjual produk minyak goreng kemasan ke ritel modern maupun pasar tradisional.

Dengan demikian, bukti yang dimiliki oleh investigator tidak dapat digunakan untuk menyatakan pelaku usaha yang bersangkutan telah melakukan pembatasan peredaran dan atau penjualan.

"Data tren volume produksi dan volume penjualan minyak goreng kemasan periode Januari 2020 sampai dengan Mei 2022 yang disampaikan pelaku usaha juga menunjukan tidak terdapat selisih yang signifikan antara volume produksi dengan volume penjualan selama periode dugaan pelanggaran. Ini menjadi bukti bahwa pelaku usaha yang menjadi Terlapor tidak melakukan pembatasan peredaran atau penjualan minyak goreng," imbuh Ditha.

Ditha juga menyatakan, investigator KPPU mengesampingkan faktor-faktor lain yang menyebabkan kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng, seperti kebijakan pemerintah yang kurang tepat, meningkatnya harga CPO dunia, serta praktek spekulasi dari sejumlah pelaku usaha ritel yang tidak ingin mengalami kerugian karena kebijakan HET.

Selain itu, KPPU sebaiknya juga mempertimbangkan putusan Pengadilan Tindakan Pidana Korupsi (Tipikor) dalam perkara dugaan korupsi persetujuan ekspor CPO. Berkaca dari perkara tersebut, majelis hakim dalam amar putusannya juga menyatakan bahwa kelangkaan minyak goreng tidak lepas dari kesalahan kebijakan pemerintah.

Menurut majelis hakim, intervensi pemerintah terhadap pasar khususnya dalam penetapatan HET ikut berkontribusi dalam kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng karena tindakan tersebut tidak didukung infrastruktur sebagaimana pada sektor BBM, yakni keberadaan Pertamina. Pemerintah tidak memiliki stok minyak goreng dan tidak memiliki badan atau lembaga yang menguasai minyak goreng.

KEYWORD :

Kartel Minyak Goreng Harga CPO LKPU-FHUI) Ditha Wiradiputra




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :