Minggu, 28/04/2024 18:15 WIB

Dugaan Kartel Minyak Goreng Dinilai Sangat Prematur

Ada sejumlah faktor yang menjadi pemicu kenaikan harga minyak goreng kemasan antara lain  meroketnya harga CPO di pasar global.

Minyak Goreng kualitas ekspor. (Foto istmewa)

JAKARTA, Jurnas.com  – Baru-baru ini Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI) telah menerbitkan laporan "Kajian Penanganan Perkara Dugaan Pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Terkait Penjualan Minyak Goreng Kemasan di Indonesia".

Dalam kajian ini disebutkan bahwa bukti-bukti yang diajukan  Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam perkara dugaan kartel minyak goreng tidak kuat untuk menyatakan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5/1999 tentang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).

Dalam laporan setebal 53 halaman ini menguraikan latar belakang kenaikan harga minyak goreng kemasan pada akhir 2021 hingga pertengahan 2022. Ada sejumlah faktor yang menjadi pemicu kenaikan harga minyak goreng kemasan antara lain  meroketnya harga CPO di pasar global sebagai dampak sejumlah fakto seperti pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.

Ketua LKPU-FHUI, Ditha Wiradiputra menjelaskan, kebijakan yang dibuat pemerintah untuk meredam kenaikan harga minyak goreng kemasan malahan menjadi boomerang yang berimbas kepada makin tingginya harga dan minimnya ketersediaan minyak goreng di pasaran. Sebagai contoh kebijakan  Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng yang diikuti perubahan regulasi sangat cepat.

Kebijakan HET ini membuat adanya sekian banyak perubahan regulasi mulai dari  Permendag Nomor 1/2022 pada 11 Januari 2022, Permendag Nomor 3/2022 yang mulai berlaku pada 19 Januari 2022, Permendag Nomor 6/2022 pada 1 Februari 2022 yang kemudian juga diganti dengan Permendag Nomor 11/2022 pada 16 Maret 2022. 

Selanjutnya pada 2022, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) lewat Permendag Nomor 2/2022, serta larangan sementara ekspor CPO dan produk turunannya (Permendag Nomor 22/2022).  Kebijakan ini untuk mengoptimalisasi ketersediaan CPO sebagai bahan baku utama serta memastikan ketersediaan minyak goreng di pasar domestik.

"Kebijakan HET minyak goreng bukan saja merugikan produsen karena harus menjual di bawah harga keekonomian, tetapi juga berdampak negatif pada rantai distribusi minyak goreng.  Penetapan HET di bawah harga keekonomian membuat oknum-oknum distributor sengaja menimbun produk dan menjual minyak goreng dengan harga yang jauh di atas HET. Di lain pihak, masyarakat terpengaruh secara psikologis dan bertindak irasional dalam melakukan pembelian minyak goreng kemasan (panic buying)," ujar Ditha.

Pascakenaikan harga dan kelangkaan pasokan minyak goreng dengan rentang waktu 2021 sampai 2022, lalu KPPU melakukan penyelidikan hingga pemeriksaan adanya indikasi pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c dalam Undang-Undang Nomor 5/1999 oleh 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor). Para Terlapor diduga membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober - Desember 2021 dan periode Maret – Mei 2022, dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari – Mei 2022.

Investigator KPPU dalam Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) mendalilkan dugaan pelanggaran Pasal 5 tersebut berdasarkan bukti adanya perjanjian di antara pelaku usaha, yaitu adanya perilaku bersama-sama (concerted) untuk menaikan harga minyak goreng pada periode Oktober - Desember 2021 dan periode Maret – Mei 2022.

Selain itu, adanya pemberitahuan secara serentak dan bersamaan kepada distributor dan/atau peritel yang didukung oleh alat bukti terkait adanya komunikasi atau interaksi melalui rapat asosiasi.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Banu Muhammad menambahkan, investigator KPPU menggunakan uji korelasi dan homogeneity of variance test untuk membuktikan adanya price parallelism oleh para Terlapor. Namun, secara metodologi uji korelasi hanya menunjukkan kesamaan tren, bukan hubungan kausalitas.

Selain itu, uji korelasi maupun homogeneity of variance test yang dilakukan hanya untuk para Terlapor belum cukup untuk membuktikan adanya price parallelism karena hal serupa bisa juga terjadi pada pelaku usaha yang tidak diproses KPPU.

Analisa yang dilakukan oleh KPPU harusnya juga mempertimbangkan masa yang lebih panjang dan mengkonsiderasi keputusan yang sifatnya berkelanjutan, tidak hanya terbatas pada periode yang disorot.

"LDP yang disampaikan KPPU masih terlalu prematur. Selain terkait dengan bukti ekonomi yang bersifat indirect juga terkait dengan pengambilan keputusan yang kurang tepat dan butuh pembuktian lebih lanjut," ujar dia.

Berkaitan dengan dugaan pelanggaran Pasal 19 huruf c UU Antimonopoli, investigator KPPU dalam LDP-nya menyatakan bahwa para Terlapor secara bersama-sama membatasi peredaran dan atau penjulan yang mengakibatkan kekurangan pasokan atau bahkan kelangkaan minyak goreng. Hal ini berdasarkan keterangan maupun bukti dokumen purchase order dan delivery order beberapa distributor dan peritel untuk kurun waktu 2021 - awal 2022 yang menunjukkan adanya penurunan pasokan minyak goreng kemasan.

Tim LKPU-FHUI dalam kajiannya menyatakan, bukti-bukti tersebut kurang relevan karena sejumlah pelaku usaha yang menjadi Terlapor tidak mendistribusikan dan menjual produk minyak goreng kemasan ke ritel modern maupun pasar tradisional.

Dengan demikian, bukti yang dimiliki oleh investigator tidak dapat digunakan untuk menyatakan pelaku usaha yang bersangkutan telah melakukan pembatasan peredaran dan atau penjualan.

Guru Besar Universitas Sumatera Utara Ningrum Natasya Sirait, yang menjadi saksi ahli sidang KPPU beberapa waktu lalu, juga menjelaskan bahwa dugaan kartel minyak goreng dalam sidang KPPU tidak cukup berlandaskan kepada indirect evidence (bukti tidak langsung).

Menurut Ningrum bukti tidak langsung tanpa didukung dengan bukti langsung tidak dapat digunakan dalam pembuktian Pasal 5 UU Antimonopoli. Apabila tidak ditemukan adanya direct evidence, maka penggunaan indirect evidence harus sangat hati – hati dan didukung oleh analisis plus factor.

"Ini untuk membedakan apakah hal tersebut hanya merupakan perilaku atau strategi interdependen yang paralel atau merupakan kesepakatan penetapan harga," katanya.

Ningrum menambahkan bahwa indirect evidence hanya merupakan alat bukti petunjuk dalam Pasal 42 UU Antimonopoli, sehingga tidak bisa berdiri sendiri sebagai alat bukti. Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor 1/2019, indirect evidence adalah bukti petunjuk yang berupa bukti komunikasi dan bukti ekonomi.

Dalam Kajian LKPU-FHUI, disarankan supaya  Kepada Majelis Komisioner KPPU yang memeriksa perkara dugaan pelanggaran terhadap Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang-Undang No.5 Tahun 1999 terkait penjualan minyak goreng kemasan, apabila dasar dari pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan alat bukti yang dikemukakan di dalam LDP maka dapat dikatakan hal tersebut tidak cukup kuat untuk membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 terkait penjualan minyak goreng kemasan di Indonesia.

Begitupula KPPU diminta melakukan kerjasama yang lebih baik kepada sejumlah pihak yang terkait khususnya dari pihak Pemerintah ataupun ahli yang terkait mengenai masalah industri minyak goreng sehingga KPPU dapat memiliki pandangan yang lebih komprehensif dalam menilai permasalahan yang terjadi dalam kenaikan harga dan kelangkaan produk minyak goreng kemasan beberapa waktu yang lalu.

KEYWORD :

LKPU-FHUI Ditha Wiradiputra Kartel Minyak Goreng KPPU




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :