Jum'at, 26/04/2024 09:30 WIB

Jokowi Sebut Ekonomi Indonesia Kuat, INDEF: Sektor Manufaktur dan Perdagangan Internasional Bagus

Manufaktur PMI itu memang pergerakannya sudah 51 persen, artinya ini ekspansif secara umum itu bagus, walaupun kalau kita lihat tren ini bisa berubah ke depan karena sebetulnya dari sisi produk PMI, ini kalau dari kemarin Juli itu naik karena permintaan dari masyarakatnya, dari konsumennya masih cukup tinggi sampai Juni itu sudah jelas ya, karena ada momentum triwulan pemulihan yang kuat

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). (Foto: Dok. Ist)

Jakarta, Jurnas.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sidang tahunan MPR RI 2022 dan sidang bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2022 memastikan kekuatan ekonomi Indonesia dipastikan masih kuat, meski beberapa negara besar mengalami gejolak.

Menurut Presiden, kekuatan ekonomi Indonesia pun diakui oleh dunia sebagai salah satu negara yang berhasil mengatasi pandemi dan memulihkan ekonominya dengan cepat. Pemulihan ekonomi Indonesia dalam tren terus menguat, tumbuh 5,01 persen di Triwulan I dan menguat signifikan menjadi 5,44 persen di Triwulan II 2022.

Menanggapi pidato Presiden Jokowi soal kekuatan ekonomi Indonesia, Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto mengatakan, sektor manufaktur pergerakannya sejauh ini sangat bagus, meski trennya bisa berubah ke depan namun beberapa bulan terakhir ini permintaannya terus naik karena konsumsi masyarakat masih cukup tinggi.

“Manufaktur PMI itu memang pergerakannya sudah 51 persen, artinya ini ekspansif secara umum itu bagus, walaupun kalau kita lihat tren ini bisa berubah ke depan karena sebetulnya dari sisi produk PMI, ini kalau dari kemarin Juli itu naik karena permintaan dari masyarakatnya, dari konsumennya masih cukup tinggi sampai Juni itu sudah jelas ya, karena ada momentum triwulan pemulihan yang kuat,” kata Eko Listiyanto saat dihubungi, Rabu (17/8).

Meski mengalami tren cukup baik di bulan Juni, Eko Listiyanto mengingatkan Pemerintah karena di bulan Juli itu masuk triwulan 2 berpotensi akan bisa turun jika tidak berhati-hati, karena jika dilihat dari keyakinan indeks konsumen pembelinya masih optimis di atas 100 persen, tetapi 3 bulan terakhir sebetulnya mengalami penurunan.

“Jadi kayak ada tanda-tanda penurunan permintaan ke depan, cuma ini karena datanya baru sekarang, baru Juli makanya kelihatannya masih lebih bagus padahal keyakinan konsumen 3 bulan terakhir ini terus turun gitu,” ujarnya.

“Jadi itulah tantangannya kalau tetap bisa menjaga di atas 50 persen itu bagus, tetapi ini kan tergantung dari permintaan dan melihat dari tanda-tanda permintaan turun nanti, from manager index juga akan turun karena itu kan yang ditanyakan manajernya itu kamu produksi berapa, lebih tinggi dari bulan lalu atau enggak? nah yang di surveinya kan gitu,” sambungnya.

Untuk perdagangan internasional Indonesia masih surplus jika merujuk pada neraca, namun harga-harga produksi mulai menurun dan ini membuat Indonesia tergerus. Meski ada ancaman harga komoditas menurun, namun Pemerintah mampu mengendalikannya lewat subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang membuat daya beli masyarakat masih bagus.

“Perdagangan internasional kalau terkait dengan neracanya kita harus bersiap surplus, tapi kita mulai tergerus karena harga yang relatif agak sedikit menurun sih sebetulnya setelah puncak, jadi harga komoditas sekarang itu tidak di puncak lagi, jadi udah pelan-pelan turun. Tapi kabar bagusnya mungkin bagi subsidi BBM lebih turun, tetapi kabar jeleknya kita kan jualannya komoditas ya sehingga ekspor turun pendapatan negara bisa turun,” paparnya.

Eko Listiyanto juga mengingatkan Pemerintah soal resesi yang sudah dialami oleh beberapa negara besar, salah satunya Amerika Serikat. Meski Indonesia masih berada di posisi aman atau terselamatkan dari resesi, namun Pemerintah harus menyiapkan kebijakan strategis mengantisipasi terjadinya resesi di negara tetangga, yang akan berpengaruh pada ekonomi Indonesia.

“Yang kedua ketika global itu terancam resesi walaupun kita nggak terancam, tetapi kalau tetangga kita terancam mereka juga akan minta dari kita lebih sedikit. Nah itu yang sebetulnya menjadi persoalan di situ, jadi kalau tetangga minta lebih sedikit artinya kan keuntungan kita sedikit. Ini yang harus di kemanakan barang-barang kita ini, itulah yang mau dicarikan strateginya diserap dalam negeri gitukan, itu yang butuh strategi,” jelasnya.

Eko Listiyanto juga menyinggung soal target pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023 dari 5,2 persen naik menjadi 2,3 persen. Buat Eko, Pemerintah kurang begitu berani untuk mematok target karena tahun depan hanya naik 0,1 persen, artinya naik sedikit tinggi dari tahun ini hingga terlihat kenaikannya sangat kecil. Meski begitu, Eko Listiyanto sadari betul ada pertimbangan lain dari pemerintah seperti tekanan global.

“Agak kecil kenaikannya begitu, karena dalam narasi-narasi Pak Jokowi itu memang tekanan global, penurunan pertumbuhan ekonomi level global, penurunan permintaan perdagangan ekspor itu di tahun depan itu sepertinya memang kelihatan sekali gitu, sehingga itu yang membuat angkanya memang tidak bisa lebih rendah dari tahun, di sisi lain juga masih melambangkan istilahnya realistis tetapi memang ya harus lebih tinggi kira-kira begitu,” paparnya.

“Tumbuh 5,3 persen itu pemerintah mengandalkan konsumsi dalam negeri dengan mencoba untuk menahan kenaikan inflasi global, ini kan inflasinya lagi tinggi nah dia menahan kenaikan inflasi dengan subsidi yang gede-gedean harapannya daya beli masyarakat masih tetap tinggi sehingga konsumsinya tetap baik gitu ya,” pungkasnya.

 

 

KEYWORD :

Presiden Jokowi Sidang Tahunan ekonomi inflasi Eko Listiyanto INDEF PMI




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :