Kamis, 16/05/2024 03:48 WIB

Anggota DPR: Kenaikan LPG Non Subsidi Bisa Memicu Kelangkaan Gas Melon

Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto. (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Kenaikan harga LPG non-subsidi berturut-turut dalam tiga bulan terakhir, November 2021, Desember 2021, dan Februari 2022, dikhawatirkan akan mengakibatkan kelangkaan gas melon 3 kg. Sebab pelanggan yang tadinya menggunakan LPG non subsidi diperkirakan beralih membeli LPG gas melon tiga kg bersubsidi.

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menjelaskan, kalau ini terjadi maka gas melon 3 kg dapat mengalami kelangkaan yang mengakibatkan harga di tingkat pelanggan melebihi HET (harga eceran tertinggi).

“Hal tersebut sangat mungkin terjadi. Sekarang ini saja sekitar 12 juta pelanggan gas melon 3 kg adalah mereka yang tidak berhak,” tambahnya dalam keterangan resmi, Kamis (3/3).

Mulyanto menambahkan, pandemi Covid-19 belum pulih. Omicron melonjak tinggi dan ekonomi masyarakat masih tertatih-tatih. Ketika mendapat tekanan harga, pelanggan LPG non-subsidi ini akan mencari jalan keluarnya sendiri yaitu membeli LPG bersubsidi yang lebih murah.

Hal ini dimungkinkan, karena distribusi gas melon tiga kg masih bersifat terbuka. Dijual bebas dengan pengawasan Pemerintah yang sangat minim.  Semua orang dapat membeli secara mudah LPG bersubsidi di agen, pangkalan atau warung-warung. Tidak ada pembatasan khusus.

“Karenanya LPG bersubsidi ini terbuka untuk dibeli oleh pelanggan yang selama ini menggunakan LPG non-subsidi,” terang Mulyanto.

Oleh karena itu, Wakil Ketua Fraksi PKS ini mendesak Pemerintah meninjau ulang kebijakan yang memberatkan masyarakat tersebut.

“Harga LPG non-subsidi ini tidak mesti naik, karena kenaikan defisit transaksi berjalan sektor migas, akibat melonjaknya harga migas dunia, sebenarnya dapat dikompensasi dari penerimaan ekspor komoditas energi lainnya seperti: batu bara, gas alam dan CPO yang harganya juga melejit menuai wind fall profit,” jelas Mulyanto.

Sebagai contoh, lanjutnya, penerimaan negara dari ekspor batubara dan CPO pada tahun 2021 sebesar USD 55 milyar.  Sementara defisit transaksi berjalan sektor migas, karena impor BBM dan LPG, pada tahun 2021 hanya sebesar USD 13 milyar. Karenanya, kenaikan penerimaan ekspor batubara dan CPO mestinya dapat mengkompensasi kenaikan defisit transaksi dari impor migas.

Jadi, menurut Mulyanto, melonjaknya harga energi dunia, tidak otomatis harus diikuti dengan kebijakan kenaikan harga BBM dan LPG domestik.

Mulyanto juga meminta Pemerintah untuk mengembangkan berbagai opsi kebijakan yang inovatif, yang tidak memicu inflasi dan membebani rakyat di saat pandemi Covid-19 yang belum usai ini.

“Misalnya dalam jangka pendek, substitsui LPG dapat dilakukan dengan kompor listrik atau gas alam, apalagi kalau gas alam ini dijual dalam bentuk tabung. Juga peningkatan eksplorasi dan produksi migas di lapangan eksisting, karena dengan harga yang tinggi investasi migas menjadi semakin kondusif. Termasuk juga gerakan penghematan penggunaan LPG,” tandasnya.

 

KEYWORD :

Warta DPR Komisi VII PKS Mulyanto LPG gas melon




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :