Jum'at, 26/04/2024 11:48 WIB

Hidayat: Jangan Benturkan Pancasila dengan Agama

Konstruksi Pancasila yang dimulai dengan nilai Spiritual, itu menurut Hidayat merupakan kesepakatan final para Bapak Bangsa pada 18 Agustus 1945 yang terhimpun dalam PPKI.

Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid. (Foto: MPR)

Jakarta, Jurnas.com - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, menegaskan, Pancasila merupakan ideologi dan dasar Negara Indonesia. Penetapan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara disepakati oleh Bapak-Bapak Bangsa sebagai ikatan legal konstitusional.

Kesepakatan menerima Pancasila, juga bermakna mengesahkan kokoh kuatnya hubungan antara agama dan negara di Indonesia.

Sehingga upaya untuk menafikan atau membenturkan keduanya, merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan konstitusi dan kenegarawanan Bapak-Bapak Bangsa saat menyepakati Pancasila dengan Sila Pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai Dasar dan Ideologi Negara Indonesia Merdeka.

Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dinyatakan oleh Bung Hatta sebagai prinsip spiritual yang terus mengilhami dan menerangi. Sedangkan sila kedua hingga kelima memiliki kandungan nilai sosial-ekonomi-politiknya.

Konstruksi Pancasila yang dimulai dengan nilai Spiritual, itu menurut Hidayat merupakan kesepakatan final para Bapak Bangsa pada 18 Agustus 1945 yang terhimpun dalam PPKI.

Anggota yang terhimpun dalam PPKI adalah tokoh-tokoh Nasionalis Kebangsaan seperti Bung Karno, Bung Hatta, Prof Soepomo. Juga Nasionalis Keagamaan muslim seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimejo, Mr Teuku Muhammad Hasan. Serta Nasionalis Keagamaan non Muslim seperti J Latuharhari, GSJ Sam Ratulangi, dan I Goesti Ketoet Poedja.

Kesepakatan para Bapak Bangsa, itu tidak hanya diletakkan di Pancasila, namun juga pada batang tubuh UUD NRI 1945. Yakni Bab XI pasal 29 ayat 1 bahwa; Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bukti nyata lainnya terkait diterimanya hubungan agama dan negara adalah penggunaan kata serapan dari bahasa arab yaitu bahasa yang dipergunakan dalam rujukan Agama Islam. Semua itu ada dalam Pancasila sila ke-2 (adil, adab), sila ke-4 (rakyat, hikmat, musyawarat, wakil), dan ke-5 (adil, rakyat). Dalam alinea ke tiga pembukaan UUD 1945 juga ada ungkapan “berkat, rahmat, Allah, rakyat”, itu semua serapan dari bahasa Arab.

“Memang bukan berarti Negara Indonesia berdasarkan Agama tertentu, tetapi pasti Republik Indonesia juga bukan negara Sekuler apalagi Atheis/Komunis yang anti Agama. Bahkan dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 jelas disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah “atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa"," ujar Hidayat Nur Wahid saat memberikan Sosialisasi Empat Pilar MPR kepada keluarga besar PKS di Tanah Abang, Jakarta, Senin (22/11/2021).

Menurut Hidayat, sekalipun ada upaya pemecah belahan hubungan antara beragama dan bernegara, tetapi melalui Pancasila dan UUD 1945 keterkaitan erat antara keduanya adalah bagian dari fakta historis jati diri/fitrahnya Bangsa dan Negara Indonesia. Juga merupakan bagian dari perjalanan kehidupan berkonstitusi di Indonesia.

“Bahkan pada era Reformasi sekali pun, ketika UUD 45 diamendemen, tetap saja disepakati secara bulat bahwa Pembukaan UUD 45 tidak bisa dilakukan perubahan, dan di dalam Pembukaan itu ada Pancasila yang final disepakati oleh PPKI pada 18 Agustus 1945, dengan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujarnya.

HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid mengingatkan, memisahkan antara agama dan negara apalagi mengkriminalkannya adalah ideologi asing yang tak diterima oleh Bapak-Bapak Bangsa. Karenanya tidak mereka sepakati dalam konstitusi Indonesia.

Menghadirkan permusuhan dan kontroversi antara urusan agama dan negara juga bukan laku kenegarawanan yang dicontohkan oleh para Bapak bangsa. Ketika para tokoh Nasionalis Keagamaan dari Umat Islam menyampaikan argumentasi dalam sidang BPUPKI maupun Panitia 9, terkait dasar negara yang bernuansa keislaman dan keagamaan, tidak ada tuduhan radikalisme maupun terorisme yang disematkan kepada mereka.

Juga ketika para tokoh Nasionalis Kebangsaan menyampaikan gagasan dasar negara dengan nuansa kebangsaan, tidak ada tuduhan sebagai kafir atau tidak beragama. Justru di antara kedua kelompok ini saling berdiskusi dan berargumentasi dengan baik untuk akhirnya berkompromi, bersama-sama mencari solusi, merumuskan dan menyepakati dasar negara, dengan menghormati aspirasi dari seluruh pihak.

“Manuver sebagian pihak untuk mengkriminalkan pengaitan Agama dalam Bernegara, dan untuk memisahkan keduanya dengan menunggangi isu terorisme, bisa jadi membahayakan kokoh kuatnya kebersamaan menerima Pancasila dalam rumusan final pada 18 Agustus 1945, dan bisa membahayakan keutuhan dan kebersamaan dalam menegakkan NKRI,” lanjutnya.

Karena itu, penting bagi generasi muda memahami sejarah termasuk Pancasila dan UUD 1945. Apalagi bagi partai-partai Politik, termasuk Partai Islam, agar semua pihak berkontribusi melanjutkan kenegarawanan para Bapak Bangsa.

Menghadirkan relasi yang positif beragama dan bernegara, untuk menghentikan berbagai manuver. Seperti dorongan untuk tidak dimunculkan kembali oleh sebagian pihak itu. Karena itu adalah manuver inkonstitusional dan ahistoris, tidak sesuai dengan warisan keteladanan dan kenegarawanan yang diwariskan oleh Bapak dan Ibu Bangsa.

Gerakan mencurigai dan menegatifkan relasi Agama dan Negara di Indonesia yang mayoritas mutlaknya beragama Islam. Juga tidak membantu menguatkan NKRI, dan malah bisa menguatkan gerakan yang anti Agama dengan mengadu domba antara Umat beragama Islam dengan Negara dan sebaliknya, yang bisa melemahkan NKRI, dan menguatkan separatisme.

KEYWORD :

Kinerja MPR Hidayat Nur Wahid Agama Pancasila




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :