Jum'at, 26/04/2024 10:44 WIB

Catat, Permendikbudristek Tentang Kekerasan Seksual Melenceng Dari Pancasila!

Selain itu, Ledia juga menyesalkan beberapa muatan dalam isi Peraturan Menteri ini melenceng jauh dari nilai-nilai Pancasila dan bahkan cenderung pada nilai-nilai liberalisme. Landasan norma agama yang seharusnya menjadi prinsip pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang termuat di pasal 3 juga tidak dimasukan.

Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah. (Foto: Dok. Mina News)

Jakarta, Jurnas.com - Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah menyoroti Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang belum lama ini baru diterbitkan.

Politisi PKS ini mempertanyakan dasar hukum yang menjadi landasan dikeluarkannya kebijakan tersebut. Ledia menegaskan bahwa dikeluarkannya setiap peraturan harus mengacu pada Undang-undang No 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Di dalam pasal 8 ayat 2 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Peraturan Menteri bisa memiliki kekuatan hukum mengikat manakala ada perintah dari peraturan perundangan yang lebih tinggi. Maka terbitnya Peraturan Menteri ini menjadi tidak tepat karena undang-undang yang menjadi cantolan hukumnya saja belum ada,” tegas dia dalam keterangan resmi, Rabu (3/11).

Selain itu, Ledia juga menyesalkan beberapa muatan dalam isi Peraturan Menteri ini melenceng jauh dari nilai-nilai Pancasila dan bahkan cenderung pada nilai-nilai liberalisme. Landasan norma agama yang seharusnya menjadi prinsip pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang termuat di pasal 3 juga tidak dimasukan.

“Padahal Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar negara yang setiap silanya dijabarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan cara manusia Indonesia bersikap dan mengambil keputusan,” tegas Ledia.

Peraturan Mendikbudristek tersebut, lanjut Legislator Dapil Jawa Barat I ini, juga sarat akan unsur liberal dalam pengambilan sikap. Itu membuat definisi kekerasan seksual menjadi bias. Contohnya, Ketika memasukkan salah satu jenis kekerasan seksual pada ‘penyampaian ujaran yang mendiskriminasi identitas gender’.

Ditambah lagi, Peraturan Menteri ini memasukkan persoalan ‘persetujuan’ atau yang biasa dikenal sebagai consent menjadi diksi yang berulang-ulang digunakan sebagaimana bisa ditemukan pada pasal 5 ayat 2. Bahwa beraneka tindakan atau perilaku akan masuk dalam konteks kekerasan seksual bila tidak terdapat persetujuan dengan korban.

“Ini tentu merupakan satu acuan peraturan yang berbahaya. Ditambah dengan tidak dimasukkannya norma agama, generasi muda kita seolah digiring pada satu konteks bahwa ‘dengan persetujuan suatu perilaku terkait seksual bisa dibenarkan. Jelas-jelas berbahaya ini,” kritik Ledia.

Anggota Baleg DPR RI ini kemudian memberi contoh betapa banyak terjadi hubungan seks di luar nikah yang diawali dengan persetujuan atau suka sama suka. Juga betapa mulai bermunculannya perilaku LGBT secara terang-terangan di tengah masyarakat.

“Padahal dalam norma agama, seks di luar nikah juga perilaku LGBT bukan sesuatu yang dibenarkan.” tegasnya

Secara keseluruhan, Ledia menilai, isi Peraturan Menteri ini belum dapat memberikan pencegahan dan perlindungan secara hukum melainkan hanya sekedar menyampaikan sanksi administratif internal. Sebaliknya, peraturan ini hanya menambah beban birokratisasi administrasi baru dengan segala ketentuan perizinan.

“Peraturan ini belum menampakkan satu klausulpun yang bisa memastikan proses hukum berjalan untuk melakukan pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual,” kata Sekretaris Fraksi PKS ini.

Ledia mencontohkan bagaimana Pasal 7 dan 8 yang berfokus pada birokratisasi administrastif. Ancaman yang cukup berat pun belum nampak dalam keseluruhan muatan Permendikbudristek ini. Padahal salah satu sarana efektif dalam pencegahan adalah terdapatnya ancaman hukum yang jelas dan tegas secara pidana. Juga agar orang berpikir seribu kali kalau mau melakukan kejahatan.

“Tambahan pula Permendikburistek ini juga seolah mengenyampingkan proses hukum bila terjadi suatu kasus karena nampak lebih berfokus pada pengadilan internal dengan keberadaan satgas di lingkungan kampus,” tegasnya.

“Karena itu, kami berharap Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 ini dibatalkan dan Kemendikbudristek bisa lebih fokus pada pembinaan sistem perkuliahan yang berkarakter Pancasila,” sambung Ledia Hanifa Amaliah.

KEYWORD :

Warta DPR PKS Komisi X DPR Ledia Hanifa Amaliah Permendikbudristek Kekerasan Seksual Perguruan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :