Sabtu, 27/04/2024 01:25 WIB

FSGI Tolak Wacana Pengembalian Mapel PMP

Menurut Sekjen FSGI Heru Purnomo, sekolah sudah mengalami `surplus` nilai-nilai moral atau karakter yang bersumber dari Pancasila.

Ilustrasi PMP

Jakarta – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menolak wacana pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), untuk menghidupkan kembali mata pelajaran (mapel) Pendidikan Moral Pancasila (PMP).

Alasannya, menurut Sekjen FSGI Heru Purnomo, sekolah sudah mengalami `surplus` nilai-nilai moral atau karakter yang bersumber dari Pancasila.

Bahkan, Kemdikbud telah memiliki empat model penanaman karakter di sekolah, yakni: 1) melalui pelajaran PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan) sebagai mapel wajib; 2) penerapan Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPPK); 3) keberadaan ekstrakurikuler wajib seperti Pramuka; dan 4) pembiasaan yang diformulasikan menjadi budaya sekolah.

“Semua itu sedang dijalankan oleh para guru dan siswa di sekolah. Empat program penanaman dan pengembangan karakter itulah yang mestinya diperkuat pemerintah. Jadi, nilai karakter dan moral macam apa lagi yang diinginkan negara?” tegas Heru kepada Jurnas.com, pada Rabu (28/11).

Heru memandang, persoalan sebenarnya sedang dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia justru banyaknya beban yang mesti dipikul oleh guru dan siswa. Beban ini dinilai akan bertambah lagi jika PMP masuk menjadi mapel baru.

“Mestinya Kemdikbud fokus saja memberi pelatihan Kurikulum 2013 yang masih membingungkan bagi banyak guru. Kurikulum 2013 saja masih belum terimplementasi secara nasional dan belum baik dalam praktiknya,” ujar Heru.

FSGI juga menilai karakter dan moral Pancasila sedang dimulai dan dipraktikkan dalam pembelajaran. Hanya saja, pemerintah terkesan tidak sabar dan kurang tekun memberikan penguatan kepada para guru.

Dia menambahkan, kebijakan yang reaksioner, emosional, dan terkesan simbolis merupakan kelemahan sistem pendidikan nasional. Padahal kebijakan pendidikan yang tidak berkelanjutan (diskontinu), formalistik, dan mementingkan nama ketimbang isi, malah merusak masa depan pendidikan anak bangsa sesungguhnya.

“Bukankah pendidikan itu sebuah proses sepanjang hayat, tidak langsung jadi? Seolah-olah setelah ada mapel PMP di sekolah, para siswa dan guru akan langsung toleran, moderat dan cinta NKRI? Ya tidak mungkin,” tegasnya.

Sementara Wasekjen FSGI Satriwan Salim mengatakan, wacana pengembalian PMP, baik sebagai mata pelajaran tersendiri dalam kurikulum, maupun sebagai nama program ialah keliru secara filosofis, pedagogis, sosiologis, akademis, dan yuridis.

Baginya, pelajaran PMP yang lahir dari Tap MPR No. II tahun 1978 disampaikan secara monolitik, indoktrinatif dan hanya berkisar pada aspek pengetahuan (cognitive) belaka. Sebaliknya, sangat sedikit untuk sikap (affective), dan tidak ada untuk keterampilan (psikomotorik).

“Bagi FSGI, yang dibutuhkan oalah aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam proses pembelajaran, iklim yang Pancasilais di sekolah, dan terpenting keteladanan dari elit pemerintah,” tandas Salim.

KEYWORD :

Wacana PMP Heru Purnomo Serikat Guru




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :