Sabtu, 27/04/2024 01:18 WIB

Ketakutan Masyarakat Berobat ke Rumah Sakit Meningkat saat Pandemi

Rumah sakit menjadi tempat yang paling beresiko dalam penularan Covid 19, membuat masyarakat banyak yang takut berobat ke rumah sakit.

acara webinar Prosedur Tetap Penanganan Pasien UGD di Masa Pandemi Covid-19, Senin (30/11).

Jakarta, Jurnas.com - Covid-19 yang melanda sejak awal 2020 telah mempengaruhi banyak aspek, termasuk dalam hal layanan kesehatan. Rumah sakit menjadi tempat yang paling beresiko dalam penularan Covid 19, membuat masyarakat banyak yang takut berobat ke rumah sakit.

Padahal pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menetapkan Prosedur Tetap (Protap) untuk penanganan pasien di rumah sakit. Salah satu aturan yang ditetapkan dalam pemberlakuan protap pelayanan di rumah sakit dimasa pandemi adalah pelaksanaan swab test untuk semua pasien di UGD.

Rita Nurini selaku ketua umum KOPMAS (Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat) mengatakan, hal ini juga menjadi bentuk perlindungan terhadap tenaga kesehatan. Namun sayangnya, dalam implementasi, masih ada celah bagi oknum memanfaatkan kebijakan tersebut untuk mengabaikan kewajibannya.

"Dampaknya, citra buruk rumah sakit, tenaga kesehatan hingga keengganan masyarakat datang ke rumah sakit bahkan dalam kondisi darurat. Kondisi ini turut berdampak terhadap hilangnya kepercayaan publik kepada pemerintah," kata Rita dalam acara webinar Prosedur Tetap Penanganan Pasien UGD di -decoration:none;color:red;font-weight:bold">Masa Pandemi Covid-19, Senin (30/11).

Rita menjelaskan bagaimana ia menemukan banyak pasien ketika dirawat di rumah sakit. Salah satunya adalah saat anaknya sakit dan dirawat, tanpa menunggu kondisi dari pasien, pihak rumah sakit meminta untuk swab test.

“Ketika saya membawa surat lab dan rujukan dari klinik, surat tersebut tidak berlaku dan pihak rumah sakit meminta untuk melakukan test lab ulang. Setelah dilakukan test ulang, ternyata hasilnya merujuk pada covid-19,” jelas Rita.

Namun, rita tidak begitu saja percaya dengan hasil lab tersebut. Rita memutuskan untuk membuat perjanjian jika suhu badan dari anaknya tidak kunjung sembuh dalam lima hari, maka Rita bersedia agar anaknya melakukan swab test. “Dan ternyata pada hari kedua anak saya sudah berangsur pulih, sehingga tidak perlu melakukan swab test,” tegasnya.

Contoh lain yang Rita jelaskan adalah salah satu warga larangan Ciledug yang merupakan korban tersetrum dengan luka bakar antara 30 sampai 40 persen. “Bapak Janad ini tidak berani ke rumah sakit, alasannya adalah tidak memiliki biaya, tidak memiliki BPJS, dan juga takut tertular covid-19,” kata Rita.

Yuli Supriati selaku bidang advokasi Kopmas juga mengatakan bahwa di lapangan pihak Kopmas menemukan banyak fenomena masyarakat yang mendengar desas-desus bahwa semua rumah sakit mengcovidkan pasien.

“Ini sebenarnya menjadi hal yang kurang baik. Karena apa? Karena orang-orang yang sakit ini akhirnya tidak berani ke rumah sakit dan bahkan sampai ada yang meninggal. Mereka rela mengurung diri daripada harus dicovidkan ataupun jasadnya diurus sesuai dengan protokol covid,” katanya.

Yuli juga menjelaskan, bahwa masyarakat harus berdamai dahulu dengan pandemi. “Untuk orang yang sedang sakit, maka harus berdamai dengan pandemi. Bagaimana agar masyarakat tidak takut berobat ke rumah sakit,”.

Yuli memaparkan yang harus dipersiapkan adalah jaminan Kesehatan. Jaminan Kesehatan yang biasa digunakan oleh masyarakat adalah jaminan Kesehatan dari swasta dan juga dari program BPJS atau yang sekarang disebut KIS (Kartu Indonesia Sehat).

"Masyarakat juga sampai saat ini masih bingung apa perbedaan kartu BPJS dengan KIS. Sebenarnya tidak ada bedanya, semua itu sudah termasuk dalam satu kartu, yaitu kartu Indonesia sehat,” ujarnya.

Dalam penggunaannya, yuli sendiri menjelaskan jika KIS dignakan bagi masyarakat yang punya kondisi ekonomi tertinggal. Pemakaian KIS juga berlaku di semua fasilitas Kesehatan dan bisa juga digunakan sebagai bentuk pencegahan.

“Sedangkan BPJS digunakan ketika dokter yang menangani pasien tersebut menyatakan bahwa pasien mengalami sakit tertentu. Jadi, tidak bisa pasiennya yang meminta agar penyakit itu bisa dicover oleh BPJS,” ungkap Yuli.

Untuk masyarakat yang ingin berobat, bisa datang ke faskes I untuk mendapatkan surat rujukan. Yuli menjelaskan, yang dibutuhkan adalah KTP, KK, dan foto copy KTP 2 lembar. “Masyarakat yang mengalami sakit cukup emergency atau cukup kritis, langsung saja datang ke UGD karena pasti akan langsung ditangani,” tambahnya.

Yuli juga menjelaskan, bahwa banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa setiap puskesmas di berbagai daerah memiliki ambulans yang bisa digunakan setiap saat. “Kalau memang pasiennya tidak bisa duduk atau kondisi buruk lainnya, sebenarnya pasien bisa mendapatkan fasilitas ini,” tambahnya.

Dalam pemaparannya, Yuli menjelaskan saat pandemi ini terdapat beberapa aturan tambahan yaitu adanya surat persetujuan yang harus ditandatangani, yaitu apabila terjadi perburukan kondisi pasien dalam masa 14 hari atau sebelum 14 hari, dan hasil swab belum 2X apabila pasien meninggal maka pemusalaran jenazah dengan protokol covid. Selain itu, ketika pandemi ruangan UGD ditambah yaitu ruangan khusus atau isolasi untuk pasien.

Yuli pun menegaskan kembali, untuk tidak takut berobat ke rumah sakit apalagi ketika keadaan sedang emergency. “Memang saya temukan, beberapa rumah sakit rujukan khususnya, protapnya memang seperti itu. Jadi ketika pasien tersebut masuk, lalu di screening, dan kemudian di periksa ulang, lalu keluarganya dipanggil untuk menandatangani surat bahwa jika pasien memiliki keadaan yang buruk dalam jangka waktu 14 hari dan meninggal, maka pasien tersebut dianggap covid-19 dan jenazahnya dimusalarakan sesuai protokol covid-19,” jelas Yuli.

Dari kasus ini, Yuli menegaskan dari semua pihak harus mencari solusi dan mempertemukan bagaimana protap yang sudah diatur oleh kemenkes, khususnya di nomor 413 dan 446 tahun 2020 agar pihak masyarakat juga tugas kesehatan tidak merasa khawatir akan isu ini.

Dalam pertemuan ini juga Leni, sebagai salah satu keluarga yang mengalami kasus dicovidkan menjelaskan bagaimana rumah sakit memvonis keluarganya positif covid.

“Oma saya saat itu sakit, lalu di bawa ke rumah sakit. Ketika mendapatkan hasil lab, ternyata positive covid. Pihak rumah sakit langsung meminta untuk merujuk ke rumah sakit rujukan covid-19. Saat di test ulang, ternyata hasilnya negatif. Ternyata oma saya memiliki penyakit pneumonia,” jelas Leni.

Leni menyayangkan sikap rumah sakit yang mengcovidkan keluarganya. Selain itu, ia juga menyayangkan mengapa setiap rumah sakit memiliki hasil yang berbeda.

Dr. Daeng Mohammad Faqih, selaku Ketua Umum Pengurus Besar IDI memaparkan bahwa terdapat protap yang dikeluarkan oleh kemenkes bahwa ada dua cara mendiagnosis covid-19. “Di dunia medis, diagnosis pada penyakit itu, ada yang namanya diagnosis klinis, ada yang diagnosis laboratorium,” sebut Daeng.

Ia menjelaskan diagnosis klinis dilakukan jika gejala-gejala yang ditimbulkan mendukung ke arah penyakit tersebut. Sedangkan diagnosis laboratorium adalah diagnosis berdasarkan hasil laboratorium.

“Jadi, menurut protap universal atau yang dianut seluruh dunia, kalau secara gejala positif kemudian PCRnya belum ada, ini sudah termasuk kategori positif covid-19. Jika meninggal karena covid-19, maka harus diurus sesuai protokol covid-19,” jelas Daeng.

Hal ini yang membuat isu rumah sakit dicovidkan itu mencuat, padahal, menurut Daeng tidak. “Yang dilakukan pada pasien adalah, sudah dirawat dengan gejala-gejala yang ada yang merujuk ke covid-19, meskipun hasil lab belum keluar,” tambah Daeng.

Dr. Nani Widodo selaku Kasubdit Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes RI menuturkan bahwa Indonesia memiliki 920 rumah sakit rujukan covid-19.

“Rumah sakit ini sudah ditunjuk, baik itu oleh kementerian Kesehatan sebanyak 132 rumah sakit, atau gubernur yang membuat SK sendiri untuk menentukan rumah sakit mana yang dijadikan rujukan,” kata Nani.

Nani juga menjelaskan bagaimana prinsip utama pengaturan rumah sakit pada masa adaptasi kebiasaan baru. “Pertama adalah pengaturan alur layanan yaitu alur pasien, skrining, lalu triase,” kata Nani.

Ia juga menjelaskan, rumah sakit selalu berupaya agar pasien tidak tertular covid-19. “Rumah sakit juga selalu berupaya untuk mencari cara agar pasien, petugas Kesehatan, tidak saling menularkan covid-19,” katanya.

Dr. Rachmat yang merupakan dokter anak juga turut memaparkan bagaimana peraturan yang berlaku selama pandemi untuk dokter anak. “Jadi kita berpegang pada pedoman panduan nasional klinis. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sudah menyusun SOP apa yang harus dilakukan oleh dokter anak,” kata Rachmat.

Ia menjelaskan bahwa selama pandemi, puskesmas jarang sekali didatangi, padahal bayi sangat butuh vitamin dan penunjang yang lain. “Dalam peraturan kementerian Kesehatan, terdapat KIA dari kesehatan keluarga bahwa harus ada 14 kegiatan yang diberikan, yaitu K 1, K2, K3, asam folat, dan sebagainya, sedangkan di daerah Tangerang selatan, puskesmas ngga ada yang datang dan tidak mendapatkan fasilitas Kesehatan yang sudah ada,” jelas Rachmat.

Dr. Rachmat juga menemukan bahwa terdapat ibu yang melahirkan namun positif covid-19 dan ini membuat kondisi para dokter cukup sulit. “Hal ini yang harus dipahami, bahwa transmisi covid-19 itu ada tiga, yaitu droplet, kontak dari tangan, dan juga aerosol atau melalui udara,” jelas Rachmat.

“Maka dari itu, yang harus dilindungi pertama adalah mukanya, menggunakan masker, pelindung hidung, mata, dan semua yang kemungkinan terjadi penularan,” tambah Rachmat.

KEYWORD :

Virus Corona Masa Pandemi Rumah Sakit Lembaga Kopmas -




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :