Jum'at, 26/04/2024 06:59 WIB

Penyikapan Terhadap Omnibus Law Belum Seirama. Judicial Review Diharapkan Jadi Jalan Keluar

Demonstrasi kami para buruh tidak sampai mendesak pak Jokowi mundur.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban

Jakarta, Jurnas.com - Penyikapan terhadap Omnibus Law kluster Undang-Undang Cipta Kerja masih belum padu, sehingga proses judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) diharap memberi jalan keluar terbaik demi keadilan bagi para pekerja dan semua masyarakat.


Hal ini disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban dalam diskusi webinar yang dihelat Indonesian Public Institute (IPI) dengan Tema: "Pro Kontra Omnibus Law, Kepentingan Siapa?" Jumat, 16 Oktober 2020.


Diskusi itu diawali pra-kata oleh Direktur Eksekutif IPI Karyono Wibowo, kemudian paparan materi empat pembicara, yakni Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban, Wakil Ketua Komisi Tetap Pembiayaan Infrastruktur Bidang Konstruksi & Infrastruktur KADIN/Kabid Fiskal Perbankan & Asuransi SOKSI, Irvan Rahardjo, Pengamat Sosial Politik, Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Riyanta, Aktivis Mahasiswa, Abdi Maulana, dan moderator diskusi Puspita Ayu Putri.


Elly menegaskan, sebenarnya KSBSI sudah tegas menolak Omnibus Law UU Ciptaker, namun dengan cara-cara yang baik. Bahkan ketika sudah disahkan menjadi UU, ada tuntutan agar Presiden Jokowi keluarkan Perrpu untuk membatalkannya.


"Saat ini pun, kita para buruh sudah siapkan materi Judicial Review ke MK. Itu kita lakukan karena banyak kepentingan kami tidak diakomodir dalam UU Cipta Kerja itu," jelas Elly.


Hanya saja, Elly tidak menampik dalam aksi demo buruh tolak Omnibus Law, ada yang mencuri panggung, dan ingin dikenal di depan oleh masyarakat.


Padahal kalau memang tulus menolak, jelas Elly, maka mestinya fokus pada apa yang menjadi penolakan itu. Sedangkan tujuan serikat pekerja menolak Omnibus Law adalah agar nasib buruh benar-benar diperhatikan dan harkat martabat buruh di Indonesia bisa diangkat.


"Demonstrasi kami para buruh tidak sampai mendesak pak Jokowi mundur. Saya menjamin, demo dari para buruh tidak sampai melakukan pengrusakan, penjarahan, pembakaran. Kami garansi tak ada bagian kami melakukan itu. Bahkan kami tak ada menyampaikan statemen yang provokatif," tegas Elli.


Sementara itu, dari sisi politik dan intelijen, Stanislaus Riyanto menyayangkan aksi unjuk rasa para buruh dan mahasiswa yang sejatinya dijamin undang-undang, justru diwarnai kekerasan ataupun serangan terhadap aparat keamanan dan perusakan fasilitas umum. 


Stanislaus menduga, terjadinya kekerasan dan serangan terhadap aparat keamanan dan perusakan fasilitas umum terlihat sudah direncankan. Hal itu terbukti dari temuan adanya orang-orang yang menyusup dalam kelompok buruh dan mahasiswa dengan membawa peralatan seperti besi panjang, batu, bahkan molotov.


"Alat-alat tersebut dibawa tentu saja bukan untuk mendukung penolakan UU Cipta Kerja tetapi untuk menciptakan kondisi kacau dan rusuh, dan mengarah kepada delegitimasi pemerintah," jelasnya.


Stanislaus menyebut ada tiga kelompok dalam unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang terjadi di berbagai kota di Indonesia.


Kelompok pertama adalah mahasiswa dan buruh yang tujuan utamanya murni mengkritisi UU Cipta Kerja.


"Kelompok pertama ini sangat jelas identitasnya, tempat kerjanya jelas, kampusnya jelas. Mereka menggunakan hak menyampaikan pendapat yang dilindungi Undang-Undang," kata Stanislaus.


Kemudian kelompok kedua, adalah para pengikut, pengejar eksistensi, korban propaganda hoaks di media sosial. Kelompok ini didominasi oleh remaja-remaja yang nyaris sebagian besar tidak paham konten UU Cipta Kerja.


"Kelompok kedua ini mudah diprovokasi untuk menyerang aparat," lanjutnya.


Adapun kelompok ketiga, Stanislaus menyebut mereka sebagai para penumpang gelap, menumpang isu penolakan UU Cipta Kerja untuk kepentingannya sendiri/kelompok.


"Ciri khas dari kelompok ini dapat dilihat dari aksi dan narasinya," jelas Stanislaus.


Ia memaparkan, aksi yang dilakukan kelompok jenis ketiga ini menjurus pada kekerasan dan perusakan dilakukan oleh kelompok anarko.


Sedangkan narasi yang disampaikan melenceng dari UU Cipta Kerja, misalnya narasi lengserkan Presiden atau sentimen terhadap etnis tertentu, dilakukan oleh kelompok politis dan ideologis.


"Bukti dari adanya kelompok ketiga ini adalah adanya penangkapan oleh Polri terhadap para pelaku, yang bukan berasal dari komponen buruh dan mahasiswa," jelas Stanislaus.


Terakhir, ia menilai pengesahan UU Cipta Kerja telah dikapitalisasi dan dijadikan kesempatan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk membuat kekacauan, kerusuhan, bahkan mengadu domba antara masyarakat dengan aparat. 


"Polri harus bertindak tegas dengan melakukan proses hukum terhadap siapa pun yang terbukti melakukan provokasi, menyebar hoax, sehingga mangakibatkan unjur rasa menjadi rusuh dan berdampak negatif," jelas Stanislaus.

KEYWORD :

Indonesian Public Institute Omnibus Law UU Cipta Kerja Karyono Wibodo




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :