Sabtu, 27/04/2024 05:21 WIB

Catatan ICW Soal Kualitas Penegakan Kode Etik Ketua KPK Firli Bahuri

ICW menyebut kualitas penegakan kode etik oleh Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) layak dipertanyakan. Hal ini terkait putusan pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri.

Gedung KPK

Jakarat, Jurnas.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut kualitas penegakan kode etik oleh Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) layak dipertanyakan. Hal ini terkait putusan pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, semestinya Firli diberikan sanksi berat dengan rekomendasi pengunduran diri Firli dari kursi Ketua KPK.

"Mengingat secara kasat mata tindakan Firli Bahuri yang menggunakan moda transportasi mewah itu semestinya telah memasuki unsur untuk dapat diberikan sanksi berat berupa rekomendasi agar mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK," kata Kurnia, dalam keterangannya, Kamis (24/9).

Dimana pada hari ini, Dewas telah menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis II kepada Firli Bahuri dalam kasus penggunaan helikopter mewah dalam perjalanan Palembang-Baturaja.

Maka dari itu, Kurnia memberikan lima catatan atas putusan Dewas terhadap Firli Bahuri. Dimana, alasan Dewas yang menyebut Firli tidak menyadari pelanggaran yang telah dilakukan dinilai tidak masuk akal.

"Sebagai Ketua KPK, semestinya yang bersangkutan memahami dan mengimplementasikan Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Kurnia.

Apalagi, lanjut Kurnia, tindakan Firli juga berseberangan dengan nilai integritas yang selama ini sering dikampanyekan oleh KPK, salah satunya tentang hidup sederhana.

Selain itu, Dewas KPK tidak menimbang sama sekali pelanggaran etik Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan. Mengingat, ICW pada tahun 2018 melaporkan Firli ke Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat atas dugaan melakukan pertemuan dengan pihak yang sedang berperkara di KPK.

"Berdasarkan laporan tersebut, pada September tahun 2019 yang lalu KPK mengumumkan bahwa Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik, bahkan saat itu dijatuhkan sanksi pelanggaran berat. Sementara dalam putusan terbaru, Dewan Pengawas menyebutkan bahwa Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik," ucap Kurnia.

Ketiga, Dewan Pengawas abai dalam melihat bahwa tindakan Firli saat mengendarai moda transportasi mewah sebagai rangkaian atas berbagai kontroversi yang sempat dilakukan.

"Mulai dari tidak melindungi pegawai saat diduga disekap ketika ingin melakukan penangkapan sampai pada pengembalian ‘paksa’ Kompol Rossa Purbo Bekti. Sehingga, pemeriksaan oleh Dewan Pengawas tidak menggunakan spektrum yang lebih luas dan komprehensif," katanya.

Keempat, putusan Dewas terhadap Firli sulit untuk mengangkat reputasi KPK yang kian terpuruk. Sebab, lanjut Kurnia, sanksi ringan itu bukan tidak mungkin akan jadi preseden bagi pegawai atau pimpinan KPK lainnya atas pelanggaran sejenis.

"Jika dilihat ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020, praktis tidak ada konsekuensi apapun atas sanksi ringan, hanya tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, tugas belajar atau pelatihan, baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri," terang Kurnia.

Kelima, lemahnya peran Dewas dalam mengawasi etika Pimpinan dan pegawai KPK. Dimana dalam kasus Firli, Dewas semestinya dapat mendalami kemungkinan adanya potensi tindak pidana suap atau gratifikasi dalam penggunaan helikopter tersebut.

"Dalam putusan atas Firli Bahuri, Dewas tidak menyebutkan dengan terang apakah Firli sebagai terlapor membayar jasa helikopter itu dari uang sendiri atau sebagai bagian dari gratifikasi yang diterimanya sebagai pejabat negara. Dewas berhenti pada pembuktian, bahwa menaiki helikopter merupakan bagian dari pelanggaran etika hidup sederhana," kata Kurnia.

KEYWORD :

Pelanggaran Etik Ketua KPK Firli Bahuri MAKI




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :