Jum'at, 26/04/2024 11:59 WIB

Pengamat: Atasi Terorisme, Pemerintah Harus Ambil Jalan Tengah

secara teknis untuk mengembalikan ratusan orang WNI dari Suriah dan Irak merupakan hal mudah, yaitu dengan mengambil langkah-langkah diplomasi dengan negara-negara tersebut.

diskusi KOPI PAHIT, bertajuk

Jakarta, Jurnas.com - Persoalan terkait radikalisme di Indonesia kembali mengemuka kala banyak WNI yang bergabung dalam organisasi separatis ISIS ingin kembali kampung halamannya. Dikabarkan mereka menyesal telah bergabung dalam gerakan yang berbasis di Irak dan Suriah itu.

Pengamat Intelijen dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib mengatakan Pemerintah saat ini harus mengambil jalan tengah untuk menyikapi masalah itu. Menurut dia, langkah ini harus diambil karena ada dua paradigma berlawanan yang ada di masyarakat saat ini, antara menerima kembali atau menolak sama sekali para eks kombatan ISIS itu.

"Masyarakat kita terbagi dua saat ini, ada yang menyoroti sisi kemanusiaan jika tidak menerima, ada juga yang berfikir tentang keamanan nasional jika para eks ISIS itu kembali diterima oleh negara," ujar dia, dalam seri diskusi KOPI PAHIT, bertajuk "Kombatan ISIS Minta Pulang, Dilema Kemanusiaan dan Keamanan Nasional", yang digelar di Rosbuck Kaffe, Cakung, Jakarta Timur, Sabtu, (6/7).

Ia menjelaskan, sebenarnya secara teknis untuk mengembalikan ratusan orang WNI dari Suriah dan Irak merupakan hal mudah, yaitu dengan mengambil langkah-langkah diplomasi dengan negara-negara tersebut. Namun menurut dia, yang jadi masalah adalah tindakan lanjut dari pemerintah jika nantinya para eks ISIS itu kembali ke Indonesia.

"Karena dari kasus-kasus yang sudah ada, para eks teroris itu setelah kembali ke Indonesia kemudian dimasukan di tempat rehabilitasi sosial. Namun setelah keluar dari tempat rehabilitasi kita tidak tahu apakah dia sudah sadar, atau kembali ke lingkaran orang-orang yang menganut paham terorisme, kita tidak tahu," ujar Ridlwan.

Apalagi, lanjut dia, adanya judgement dari masyarakat sekitar yang masih melabeli orang-orang mantan narapidana tersebut dengan sebutan teroris. Menurut dia hal itu menjadi salah satu masalah mendasar yang membuat proses deradikalisasi itu tidak berhasil.

"Narasi di media sosial saat ini juga begitu menimbulkan segregasi di masyarakat semakin lebar. Ada yang mengaku paling pancasila dan menganggap yang lain sebagai anti Pancasila," tutur Peneliti Kajian Strategis Intelijen UI itu.

Di samping itu, para mantan narapidana terutama yang pemahaman radikalnya sudah kuat juga akan sulit untuk dilakukannya deradikalisasi. "Di mana ketika sudah pulang ke Indonesia para eks ISIS itu masih menganggap keluarganya kafir, bahkan setelah keluar dari balai rehabilitasi," ujar Ridlwan.

Karena itu, pemerintah harus mengambil jalan tangah antara keduanya, seperti dengan membuka forum dialog. Orang-orang yang mempunyai pemahaman Radikal harus dipertemukan untuk mendialogkan soal mengapa begitu memegang teguh pandangan-pandangan keagamaan yang keras itu.

Selain itu, ormas-ormas Islam moderat juga berperan penting dalam menghilangkan rantai radikalisme di tanah Air. Menurut Ridlwan, ormas-ormas tersebut harus mempersiapkan da`i-dai yang populer dan disukai masyarakat untuk menyebarkan paham Islam yang moderat.

"Karena dai mereka begitu pintar untuk menyusupkan paham-paham Radikal kepada masyarakat, dengan menggunakan isu-isu sederhana sehar-hari, sehingga masyarakat begitu mudah terpapar paham-paham yang mereka sampaikan," tutur dia.

Sementara Pengamat Sosial Kemasyarakatan Muhammad Abdullah Darraz, yang juga hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut mengakui, harus ada upaya dari Ormas moderat seperti Muhammadiyah dan NU untuk mulai membuat kontra narasi radikalisme.

"Muhammadiyah dan NU harus mulai berdakwah untuk memperjuangkan itu. Karena berdasarkan pengamatan, pengajian-pengajian yang dilakukan oleh Ustadz yang terindikasi berpaham radikal itu selalu banyak jamaahnya," ujar Darraz.

Menurut dia, hal tersebut harus menjadi Lahan dakwah Muhammadiyah dan NU agar paham radikal tidak menyebar ke masyarakat. Selain itu, Darraz mengatakan, organisasi-organisasi Mahasiswa juga harus mulai bersuara terkait hal itu, karena radikalisasi saat ini cukup banyak juga melalui kampus-kampus.

"Kita melihat organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti HMI, IMM, PMII saat ini sudah tidak begitu bersuara. Harusnya merekalah yang juga berperan aktif untuk mengcounter menyebarnya paham-paham radikal di kampus," ujar Darraz, yang juga mantan Direktur Maarif Institut ini.

KEYWORD :

Aksi Terorisme Para Pengamat Kelompok ISIS




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :