Juru Bicara Lembaga Sensor Film Indonesia, Rommy Fibri (Foto: Dokpri Facebook)
Jurnas.com - Perfilman di Indonesia kian mendapat tempat perhatian dari penonton. Walau masih sulit untuk bisa bersaing dengan film-film asing yang masuk di Indonesia. Dan yang menariknya, genre yang digandrungin juga mulai seragam. Seperti genre komedian dengan hadirnya Warkop DKI, Film horor Susanna, dan genre kedaerahnya dengan “Laskar Pelangi.
Dari film-film laku itu, sudah pasti banyak film-film lainnya yang tayang walau nasibnya berbeda. Dan pasti, bukan perkara mudah bagi Lembaga Sensor Film (LSF) untuk mensortir film-film yang memang layak dipertontonkan. Berikut wawancara dengan Rommy Fibri, Anggota dan Juru Bicara Lembaga Sensor Film (LSF) :Menurut Anda, dinamika film Indonesia saat ini bagaimana?
Film nasional saat ini menunjukkan geliat yang luar biasa. Selain kuantitas yang meningkat, kualitas film-film garapan produser dan sutradara Indonesia sangat bagus dan menarik. Capaian positif tersebut bukan hanya dari sisi tema cerita dan keragaman genre, melainkan juga kecanggihan aspek sinematografinya. Dari sisi publik, film-film Indonesia sudah banyak yang masuk box office dengan menggaet jutaan penonton. Dalam kurun 2 tahun terakhir, beberapa film semisal Warkop DKI Reborn, Dilan 1990, Pengabdi Setan, AADC 2, Ayat-ayat Cinta 2, maupun My Stupid Boss, mampu bertengger di posisi 10 besar film dengan kisaran 2,8 juta hingga 6,9 juta penonton.
Tidak ada masalah antara film nasional dan film asing. Semua memiliki pangsanya masing-masing. Sejauh ini film Indonesia sudah menempati posisi tersendiri di hati pemirsa dan pecinta film nasional. Hal ini dapat dilihat dari jumlah perolehan penontonnya. Seperti misalnya film Suzanna Bernafas dalam Kubur, dalam 10 hari saja sudah mencapai sekitar 2,3 juta penonton, dan diperkirakan masih akan terus bertambah. Bahkan film drama remaja Dilan 1990 meraup 6,3 juta lebih penonton, apalagi Warkop DKI Reborn Part 1 yg penontonnya hampir mencapai 6.9 juta.
Secara umum dapat dikatakan bhw LSF saat ini sudah tidak seperti dulu, yang dengan mudah dan segera langsung menggunting sendiri adegan film yang disensorkan. Saat ini LSF mengedepankan aspek dialog dalam melakukan proses penyensoran. Jika dirasa ada adegan yang dapat menimbulkan keresahan publik, maka LSF memberi catatan dan memberikannya kepada pemilik film. Berikutnya pemilik film dapat mengajukan dialog atas catatan LSF tersebut, dan sebaliknya LSF dapat mengundang pemilik film untuk berdialog dan berusaha memahami apa yang disampaikan dalam adegan tersebut. Pernah ada film yang disensor penuh pada 2 tahun terakhir, film indonesia atau asing?
Tidak ada.
Film Indonesia atau Asing yang paling banyak kena sensor? Biasanya diadegan apa sampai harus kena sensor?
Selama ini yang menempati porsi terbesar dalam hal revisi adalah aspek pornografi. Kebanyakan film-film asing masih sangat sering menampilkan adegan-adegan yang mengandung unsur pornografi. Atas hal ini, tentu tidak ada pilihan lain bagi LSF selain meminta pemilik filmnya untuk melakukan revisi.
Hingga kini LSF masih fokus utk menyensor film-film yang akan diputar di Bioskop, TV, Festival dan DVD. Keempat medium inilah yang benar-benar menjadi domain LSF secara kelembagaan. Adapun tayangan film online, tentu LSF tidak sendirian, karena hal itu juga menjadi domain kemenkominfo. Karena itu LSF sedang mencari jalan keluar terbaik atas persoalan tersebut.
KEYWORD :
Wawancara Tokoh Rommy Fibri Lembaga Sensor Film