Sabtu, 27/04/2024 14:50 WIB

KKSK Berandil Menyumbang Kerugian Negara Rp3,7 triliun

Diduga ada penyelendupan kebijakan KKSK yang membuat kewajiban Rp 3,7 triliun terhadap Sjamsul Nursalim

Febri Diansyah, Juru Bicara KPK

Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) berandil menyumbang kerugian negara Rp 3,7 triliun terkait diterbitkannya Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) untuk Sjamsul Nursalim, pengendali saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Diduga ada penyelendupan kebijakan KKSK yang membuat kewajiban Rp 3,7 triliun terhadap Sjamsul Nursalim "menguap".

Demikian disampaikan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah. Proses penyidikan kasus yang telah menyeret mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) sebagai tersangka ini mulai mengarah pada keterlibatan pihak lain. Termasuk KKSK yang terdiri dari sejumlah menteri, antara lain Menteri Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin), juga Menteri Keuangan dan Menteri Negera BUMN.

"Kita mulai masuk pada proses dan hasil dari kebijakan KKSK yang dambil pada bulan Febuari 2004, karena disana diduga sudah tidak cantumkan lagi angka Rp 3,7 trilun yang saat ini kami pandang bagaian dari dugaan kerugian negara," ungkap Febri, Minggu (21/5/2017).

Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Kepala BPPN saat itu mengusulkan disetujuinya keputusan KKSK yang menyetujui pemberian SKL kepada Syamsul Nursalim. Dimana SKL itu memuat perubahan atas proses litigasi obligor restrukturisasi oleh obligor BLBI dalam hal ini Sjamsul Nursalim kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.

Dari hasil restrukturisasi tersebut, sebanyak Rp 1,1 triliun sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi.

Meski masih ada kewajiban obligor Rp 3,7 triliun, Namun Syafruddin Arsyad Temenggung tetap mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham kepada Syamsul Nursalim atas kewajibannya pada April 2004.

"Tentu kita akan telusuri lebih lanjut alur prosesnya seperti apa dan siapa saja pihak-pihak yang berkontribusi dalam hal ini," ucap Febri.

Febri tak membantah ada andil KKSK terkait dikeluarkanya SKL BLBI untuk obligor Sjamsul Nursalim. Itu terjadi dengan melewati sejumlah pembahasan pihak terkait.

"Kebijakan BPPN itu tentu harus melibatkan KKSK juga disana, karena ada struktur dan aturan hukum pada saat itu, sehingga sejumlah pihak harus dimintakan pendapat dan misalnya ada prosedur yang harus dilalui, termasuk terkait dengan proses penerbitan surat SKL terhadap salah seorang obligor. Dalam kasus ini kita menemukan ketika diterbitkan SKL masih ada kewajiban sebenarnya RP 3,7 triliun," terang Febri.

Lembaga antikorupsi telah mengantongi bukti dugaan kongkalikong terkait hal tersebut. Yang jelas, kata Febri, pihaknya tengah mendalami hal itu.

"Ada alur dan kronologis tentunya, tapi kami tidak bisa sampaikan secara detail, secara spesifik misalnya keputusan KKSK di Febuari 2004 itu siapa saja yang berpengaruh sehingga sampai Rp 3,7 tiliun tidak terlihat lagi disana, tentu itu juga akan kita dalami lebih lanjut. Tentu ada sejumlah pihak yang memiliki kontribusi sampai pada ujungnya skl itu diterbitkan. Siapa saja pihak-pihak tersebut, kami mendalami hal itu. Apa relasi misalnya relasi KKSK dengan tersangka dan didalam KKSK proses pengambilan, dan alur sebelumnya seperti kita dalami. Karna itu kita perlu memeriksa setingkat pejabat pada saat itu misalnya setingkat menteri, namun kita juga periksa level-level deputi untuk mengetahu kebijakan di level KKSK dan BPPN, dan bagaimana level teknisnya. Kita juga smpai cek lebih lanjut ke lokasi di Lampung. Banyak hal yang didalami di BLBI ini," tandas Febri.

KEYWORD :

KPK BLBI




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :