Jum'at, 26/04/2024 14:40 WIB

ICW: Hak Angket Kepada KPK Hanya Akal-akalan DPR

Hak angket tersebut dinilai tidak sesuai dengan definisi yang dijelaskan dalam Pasal 79 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

Gedung KPK RI (foto: Jurnas)

Jakarta - Hak angket yang digulirkan DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai hanya akal-akalan secara politik sejumlah anggota dewan. Terlebih, hak angket tersebut dinilai tidak sesuai dengan definisi yang dijelaskan dalam Pasal 79 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Demikian disampaikan Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz dalam diskusi di kawasan, Menteng, Jakarta, Sabtu (29/4/2017). Seperti termaktub dalam Pasal 79 ayat 3 UU MD3, disebutkan tiga unsur penting dalam menggunakan hak angket. Pertama, untuk penyelidikan. Kedua, terhadap kebijakan pemerintah yang penting, strategis, dan berdampak luas. Ketiga, harus ada dugaan bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

"Hak angket kepada KPK ini saya lihat hanya akal-akalan secara politik," ungkap Donal Fariz.

Sedangkan, lanjut Donal, setidaknya anggota DPR menggunakan dua alasan dalam mengajukan hak angket. Pertama, anggota DPR menduga ada ketidakharmonisan di internal KPK. Kedua, adanya dugaan kebocoran data atau informasi terkait proses hukum yang dilakukan lembaga antikorupsi. Namun, penggunaan alasan itu dinilai janggal.

"Apa kebocoran informasi atau konflik internal berdampak luas dan berpengaruh pada bangsa dan negara? Kan tidak. Apa KPK bertentangan dengan undang-undang? Tidak juga," ujar Donal.

Setiap poin dalam pengajuan hak angket, tegas Donal, seharusnya mencantumkan undang-undang apa yang dilanggar. Akan tetapi, lanjut Donal, bukannya untuk pengawasan, hak anggota Dewan itu justru lebih cenderung digunakan untuk tujuan mengganggu pemberantasan korupsi.

"Jadi sekarang ini aneh malah DPR meminta KPK untuk membocorkan rekaman," cetus dia.

Donal sendiri meyakini, bukti berupa rekaman dan Berita Acara Pemeriksaan terhadap pemeriksaan Miryam akan dibongkar dipersidangan. Terlebih, Miryam telah ditetapkan sebagai tersangka lantaran diduga memberikan keterangan palsu dalam sidang korupsi proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Karena itu, imbau Donal, DPR sebaiknya bersabar menunggu tahap demi tahap rekaman tersebut akan terbongkar di persidangan. 

"Tidak masalah rekaman itu di buka, tapi di persidangan bukan di angket DPR," tandas Donal.

Sementara itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengungkapkan, permintaan Komisi III tersebut justru menunjukkan bahwa Komisi Hukum di parlemen itu tidak paham mengenai hukum. Menurut Lucius, Komisi III DPR, tidak dapat membedakan mana informasi terkait proses hukum yang dapat dibuka atau tidak dapat dibuka kepada publik.

"Komisi III bisa bilang mereka mitra KPK dan paling paham hukum, tapi kami tidak melihat mereka tampak paham dengam hukum yang sehari-hari jadi bahan pembicaraan mereka," ucap dia.

Selain tak paham, kata Lucius, anggota Komisi dinilai tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Lucius mengkhawatirkan proses hukum yang sedang berlangsung menjadi terganggu jika rekaman dan BAP itu dibuka bukan dalam persidangan. Terlebih secara aturan rekaman dan berita acara pemeriksaan merupakan alat yang digunakan penegak hukum dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Karena itu, tegas Lucius, hak angket terhadap lembaga antikorupsi itu tidak tepat.

"Pengamat hukum saja tahu itu ranah yang berbeda. Tidak bisa karena  mitra kerja, lalu Komisi III bisa minta apa saja kepada KPK," tegas Lucius.

KEYWORD :

KPK Hak Angket DPR ICW




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :