Rabu, 15/05/2024 17:22 WIB

Opini

Mengenal Hoaks, Fake News, Misinformasi, dan Disinformasi

Hoaks berasal dari kata hocus memiliki arti mengelabui/membohongi. Hocus sendiri berawal dari kata yang sering digunakan para pesulap abad ke-18 sebagai ucapan magis sebelum melakukan aksinya di pentas.

Ilustrasi berita palsu (Foto: Phys)

Jakarta, Jurnas.com - Penyebaran hoaks dan fake news bukanlah sebuah fenomena baru. Meskipun populer di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, sebenarnya hoaks telah digunakan sejak tahun 1800-an. Sebelum memutuskan apakah berita yang kita baca adalah hoaks atau tidak, mari kita segarkan ingatan kita pada pengertian hoaks dan fake news.

Hoaks berasal dari kata hocus memiliki arti mengelabui/membohongi. Hocus sendiri berawal dari kata yang sering digunakan para pesulap abad ke-18 sebagai ucapan magis sebelum melakukan aksinya di pentas.

Sementara kata hoaks dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti berita bohong. Jika kebohongan tersebut dibuat dengan sadar dan sengaja dianggap sebagai sebuah kebenaran, berita itu dapat diklaim sebagai hoaks.

Beberapa sarjana kemudian menuliskan pengertian hoaks. Dalam bukunya Hoaxes, MacDougall (1958) mendefinisikan hoaks sebagai berita yang aslinya salah, namun dibuat sedemikian rupa menjadi sebuah kebenaran.

Hoaks juga didefinisikan Silverman (2015) dalam artikel Journalism: A Tow/Knight Report sebagai suatu rangkaian informasi yang sengaja disesatkan, namun dijual sebagai suatu hal yang benar.

Hoaks menurut Barclay (2018) juga dapat dimaknai sebagai kebohongan baru dengan tujuan tertentu untuk memengaruhi opini publik. Lebih lanjut dalam bukunya Fake News, Propaganda, and Plain Old Lies: How to Find Trustworthy Information in the Digital Age, Barclay menjelaskan tujuan dari hoaks ini terkadang membingungkan.

Mengapa membingungkan? Karena sebenarnya informasi yang kita baca dalam sebuah berita bohong, tidak memiliki fondasi bukti yang kuat untuk menunjukan kebohongan itu. Informasi itu ditampilkan seolah-olah mengandung kebenaran. Inilah kemudian yang kita kenal dengan istilah fake news.

Elemen kunci dari fake news ini memang sengaja dibuat seperti tidak jelas dengan tujuan untuk menyesatkan atau menuliskan kepalsuan. Dalam analisis konten tentang fake news yang dibuat Sook Lim (2020), fake news mengandung konten yang tidak sesuai konteks. Biasanya ditulis dengan judul yang menyesatkan atau clickbait.

Selain itu terdapat pula definisi yang mengatakan bahwa fake news adalah gejala dari berbagai masalah yang cukup besar seperti politisasi informasi, kiris media, dan ketidakmampuan teknologi untuk mengontrol proses penyebaran atau difusi dari misinformation (Zimdars & McLeod, 2020). Berbicara mengenai fake news memang tidak dapat terpisahkan dari misinformasi, dan disinformasi.

Menurut Danielle Citron dari Washington Bothell & Cascadia College, ketiganya memiliki definisi, motif, serta daya tarik masing-masing. Misinformasi merupakan informasi palsu yang disebarkan, terlepas dari apakah ada niatan atau tidak untuk menyesatkan.

Adapun disinformasi berisikan informasi yang menyesatkan atau bias yang dilakukan dengan sengaja, seperti pada narasi atau fakta yang dimanipulasi pada propaganda. Sedangkan fake news merupakan informasi yang dibuat dengan sengaja, sensasional, bermuatan emosional, menyesatkan, atau dibuat-buat tetapi mirip bentuk berita arus utama.

Satire atau parodi termasuk jenis misinformasi dan disinformasi. Biarpun keduanya dibuat dengan intensi untuk tidak merugikan, tetapi satire dan parodi memiliki potensi untuk mengelabui meski kontennya tidak membahayakan.

Selain itu, terdapat juga konten tiruan yang dimaksudkan untuk mengaburkan fakta sebenarnya dengan meniru atau mengubah sumber asli. Konten yang dimanipulasi ini (manipulated content) memang dilakukan dengan sengaja. Namanya false connection dan biasanya diunggah dengan tujuan untuk memeroleh keuntungan berupa profit atau sekadar untuk sensasi publikasi.

Jumlah hoaks, fake news, misinformasi, atau disinformasi yang beredar di berbagai platform media di Indonesia kini semakin tak terbendung. Apalagi, kita tengah menghadapi Pemilu 2024-2029.

Bagaimanapun, cara seseorang memperoleh atau membaca informasi, hingga menginterpretasi gambar, suara, video, tidaklah sama. Namun, memilih untuk tidak tersulut hoaks, fake news, misinformasi, dan disinformasi akan turut meredam konflik yang mengusik perdamaian. (Isni Hindarto/Pemerhati Komunikasi Politik)

KEYWORD :

Hoaks Disinformasi Misinformasi Berita Palsu




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :