Senin, 29/04/2024 05:43 WIB

Praktik Korupsi Impor Bawang Putih Diprediksi Kembali Berulang

Yang kita duga ada ruang gelap, kongkalingkong, penyuapan, dan seterusnya yang memperdagangkan kuota (impor) bukan sesuatu yang tidak ada presedennya. Kasus-kasus hukum pada bawang putih di masa lalu amat mungkin terulang kembali saat ini.

Illustrasi, Bawang putih di jual Pedagang di pasar Tradisional. (Foto istimewa)

Jakarta, Jurnas.com - Karut marut impor pangan di Indonesia tidak sedikit yang berujung pada kasus hukum. Baik itu berupa kasus korupsi, penyuapan, persengkongkolan harga, penimbunan, dan kasus lainnya yang merugikan hajat hidup orang banyak. Hal serupa amat mungkin terjadi saat ini tatkala impor bawang putih terkendala surat persetujuan impor.

Pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menjelaskan, adanya kecurigaan ruang gelap maupun kongkalingkong pada impor bawang putih tak lepas dari kasus-kasus sebelumnya.

Hal ini terjadi menyusul adanya keterlambatan terbitnya surat persetujuan impor (SPI) bawang putih perusahaan yang mengajukan impor sehingga berimbas pada kelangkaan yang akhirnya membuat harga melonjak.

"Yang kita duga ada ruang gelap, kongkalingkong, penyuapan, dan seterusnya yang memperdagangkan kuota (impor) bukan sesuatu yang tidak ada presedennya. Kasus-kasus hukum pada bawang putih di masa lalu amat mungkin terulang kembali saat ini," kata Khudori pada Alinea Forum bertajuk "Tata Niaga Impor Bawang Putih: Adakah Pelanggaran Regulasi/Hukum?" yang digelar, belum lama ini.

Pertama, kata Khudori, pelanggaran Pasal 19 dan 24 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang persekongkolan menghambat pemasaran bawang putih yang diputus Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada 2014. Ada 19 entitas usaha dan 3 pejabat terlibat, dari level dirjen hingga menteri. Pelaku usaha didenda total Rp13,2 miliar.

Pelaku usaha banding. Di pengadilan level dua ini, pelaku usaha dimenangkan. Akan tetapi, kata Khudori, di level kasasi di Mahkamah Agung, keputusan KPPU dikuatkan.

Kasus kedua, jelas Khudori, soal pengurusan SPI terkait kuota impor bawang putih pada 2020 yang menyeret mantan anggota DPR RI dari PDI Perjuangan, I Nyoman Dhamantra. Oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, 6 Mei 2020, Nyoman divonis 7 tahun penjara dan denda Rp500 juta. Nyoman menerima suap Rp2 miliar dan janji Rp1,5 miliar dari tiga pihak.

"Jadi, ada kemungkinan praktik ruang gelap berulang,” kata Khudori.

Dia menyarankan, dua langkah untuk mencegah praktik gelap ini kembali terjadi. Pertama, evaluasi total tata niaga impor bawang putih baik yang difasilitasi lewat sistem INATRADE, INSW maupun Neraca Komoditas.

Evaluasi mencakup regulasi maupun sistemnya. Sebab, kata dia, dari audit Badan Pemeriksa Keuangan, sistem INATRADE, INSW maupun Neraca Komoditas yang tujuannya bagus masih mengidap banyak masalah.

Menurutnya, semua sistem elektronik untuk memangkas birokrasi, meningkatkan transparansi dan penyalahgunaan wewenang itu tertutup dari akses publik. Makanya, akan selalu tercipta ‘ruang gelap’ untuk terjadi moral hazard.

Dia menegaskan akses publik harus dibuka sebagai bagian pemenuhan transparansi sekaligus memperkuat pengawasan oleh masyarakat luas.

"Pilihan ini jika masih ada keyakinan kita bisa mencapai swasembada bawang putih. Makanya impor diatur kuotanya untuk melindungi petani dan difasilitasi sistem elektronik terintegrasi," kata dia.

Pilihan kedua, kata Khudori, membebaskan impor bawang putih dari kuota dan sepenuhnya menyerahkan pada mekanisme pasar. Pilihan ini diambil jika Indonesia tidak lagi mengejar swasembada bawang putih.

Khudori menjelaskan, Indonesia pernah swasembada bawang putih pada tahun 1990-an. Saat ini, untuk mengejar swasembada bawang putih terkendala tiga hal. Mulai dari ketersediaan bibit unggul yang terbatas dan mahal, keterbatasan lahan, hingga minimnya insentif bagi petani.

"Ketika komoditas lain jauh lebih menjanjikan dan bawang putih belum tentu untung, sulit berharap petani mau tanam," ungkap dia.

Kebutuhan bawang putih per tahun di tanah air sebesar 600 ribu ton. Ini bisa diprediksi. Untuk memastikan pasokan dan harga tidak melonjak, kata Khudori, pemerintah tinggal mengawasi realisasi impor. Apa pun pilihannya, jelas Khudori, semua pihak harus berkomitmen untuk melaksanakan pilihan yang ditetapkan.

Sementara itu, anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron mengatakan Undang-undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 dan UU Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 sebenarnya memberikan ruang lebih sempit bagi praktik para spekulan perdagangan.

"UU Pangan dan UU Perdagangan cukup untuk menjerat spekulan, pemain, dan termasuk penimbun. Bisa ditindak karena merugikan masyarakat," kata politikus Partai Demokrat ini.

Dia menegaskan, permasalahan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus mendapat pengawalan khusus dari negara. Karena itu, jelas dia, penegakan hukum harus dilakukan atas pelanggaran tata niaga bahan pangan maupun non-pangan.

Kang Hero, panggilan Herman Khaeron, menduga tersendatnya penerbitan SPI bawang putih karena ada permainan. Bahkan, dia menduga ada mafia-mafia, baik untuk mengeruk rente dengan menjadi mediator dan mengambil keuntungan atau bahkan mafia besar yang bisa mengendalikan harga baik di dalam hingga luar negeri.

Untuk membenahi tata niaga impor pangan, termasuk bawang putih, Kang Hero menyodorkan perbaikan data. "Segala sesuatu persoalan bangsa harus dimulai dari data dasar. Neraca komoditas harus dibuat dengan benar. Ini yang mestinya dilakukan pelaku usaha dan aparat," kata Kang Hero yang yakin Indonesia bisa meraih predikat swasembada bawang putih dengan sentuhan teknologi.

Sementara itu, Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Bawang dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo) Reinhart Antonius Batubara menambahkan, saat ini baru 35 dari 170 perusahaan yang mengantongi SPI bawang putih. Dari izin impor yang rilis pada Februari lalu itu, bawang putih impor diperkirakan masuk tiga bulan kemudian.

"Pada Februari itu, harga bawang putih di dunia US$680-700 per ton. Harga pokok produksi saat tiba di Indonesia kira-kira Rp10.000/kg. Namun, saat ini harga di pasaran mencapai Rp28.000 per kilogram. Ini harus dilakukan penyelidikan mendalam karena margin yang besar itu harus dipertanyakan," beber Antonius.

Antonius mendesak, penegakan sanksi pada importir bawang putih yang melanggar harus dilakukan. Ia mencontohkan kebijakan wajib tanam 5 persen bawang putih dari kuota impor bagi importir yang bekerja sama dengan petani. "Sanksi saat ini hanya black-list. Bisa saja dibubarkan PT-nya, tapi tahun depan bikin (perusahaan) lagi," ungkapnya.

Pusbarindo, kata Antonius, dibentuk oleh pemerintah untuk memainkan fungsi menjadi jembatan pelaku usaha dengan stakeholder pemerintah. Pembentukan Pusbarindo semula untuk mengatur data dan koordinasi tata niaga impor bawang putih.

"Tapi beberapa tahun terakhir kami selalu ditinggalkan. Kami minta ke depan bersama-sama lagi saat membuat regulasi tolong kami diundang dan dilibatkan karena pelaku usaha yang langsung terjun, baik pembelian maupun penjualan," pinta dia.

 

KEYWORD :

Korupsi impor bawang putih Komisi VI Herman Khaeron




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :