Sabtu, 27/04/2024 05:03 WIB

Sidang Surya Darmadi soal Masalah Perkebunan-Hutan, Ahli Jelaskan Sanksi Administratif

Iing membenarkan banyak masalah akibat aturan yang tumpang tindih antara Perraturan Daerah (Perda) dan Undang-undang mengenai kawasan hutan

Terdakwa Pemilik PT Duta Palma Group, Surya Darmadi alias Apeng (Foto: Antara)

Jakarta, Jurnas.com - Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi perizinan lahan kelapa sawit PT Duta Palma Group di Indragiri Hulu dengan terdakwa Surya Darmadi alias Apeng kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (16/1/2023).

Mantan Staf Ahli Menteri ATR/BPN Iing Sodikin Arifin bersaksi dalam persidangan tersebut. Iing membenarkan banyak masalah akibat aturan yang tumpang tindih antara Perraturan Daerah (Perda) dan Undang-undang mengenai kawasan hutan, dan hal itu banyak terjadi di Riau dan Kalimantan Tengah, di lokasi usaha kelompok usaha Duta Palma.

Ia mengatakan, jika ada masalah kepemilikan antara tanah perkebunan atau kehutanan, lazimnya dilakukan penelitian ke lapangan oleh beberapa pihak, termasuk Pemda, BPN, Polisi Kehutanan, kemudian dipaduserasikan dan diputuskan apakah diselesaikan sesuai Perda atau dikeluarkan izin pelepasan. Jika kemudian diketahui memang perkebunan itu adalah area hutan, maka bisa dikenakan sanksi administratif.

“Berdasarkan pengalaman, sanksinya administratif, tertuang di PP 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan salah satu penyelesaian melalui polisi kehutanan dan penyidik kehutanan, dikasih waktu sampai 2023 untuk penyelesaian sanksi,” ujarnya.

Iing menjelaskan, agar tertib administrasi, dulunya tanah instansi jarang dicatat. Barulah dalam UU Nomor 1 tahun 2004 yang menyatakan harus disertifikatkan. Ia menyebut, peraturan undang-undang memiliki daya ikat. Namun jika ada Peraturan Daerah yang dikeluarkan pemerintah daerah setempat, maka secara hirarki, Perda yang lebih berlaku.

“Pencatatan wajib biar negara tahu berapa kekayaannya. Aset itu harus dikuasai dan dimanfaatkan. makanya bu Sri Mulyani bilang kenapa kalah dengan negara maju, karena aset tidak work,” ujarnya.

Kemudian, sejak 2016 harus ada izin perkebunan berdasarkan putusan MK nomor 138/2016. Sedangkan perkebunan yang sudah berjalan sebelum 2016 bisa diusahakan haknya.

Terhadap keterangan Iing, Penasihat Hukum Surya Darmadi, Juniver Girsang menyebut saksi ahli dengan jelas menyatakan sertifikat yang sudah timbul yang sudah dimiliki itu adalah sah dimiliki oleh badan hukum sepanjang belum pernah dibatalkan. Yang disebutkan saksi, terang tidak ada persoalan HGU terhadap kepemilikan tanahnya.

“Dimana selama ini kejaksaan menyatakan HGUnya ini bermasalah dengan ada ahli pertanahan terjawablah dengan tegas sertifikat yang sudah timbul tidak ada alasan dinyatakan tidak sah sepanjang itu tidak ada tindakan hukum, proses hukum,” ujarnya di pengadilan.

Yang kedua, kata dia, saksi Iing menjelaskan dasar kejaksaan selama ini yang menyatakan daerah Riau itu masuk kepada Tata Guna Hak Kesepakatan (TGHK). Ternyata dari paparan saksi-saksi, disebutka  bahwa sampai kini belum ada penetapan hutan di wilayah tersebut. 

“Undang-undang pasal 15 UU kehutanan menjelaskan, untuk menetapkan kawasan hutan Itu harus melalui empat. Penataan, tata kelola, pendistribusiaan barulah ada penetapan kawasan hutan. Kalau tidak penetapan itu berarti daerah itu belum ada suatu ketentuan menyatakan kawasan hutan,” jelasnya.

*UU Cipta Kerja*

Juniver menyebut, pernyataan saksi ahli yang menyebutkan bahwa kawasan hutan di seluruh Riau, maka harus berdasarkan penetapan kawasan hutan. Terbukti,  pengurusan sertifikat  terhadap tiga lokasi yang bukan kawasan hutan dan area penggunaan lain  berbarengan yang berdekatan.

“Nah inilah tadi kejaksaan, dari ahli menyatakan karena terjadi friksi tumpang tindih ini, pemerintah pimpinan Pak Jokowi melihat harus ada jalan keluar dibuatlah Undang-undang Cipta Kerja, seharusnya kejaksaan menghargai, menghormati UU Cipta Kerja ini,  kalau tidak, tidak akan selesai. Karena dari data yang kita peroleh permasalahan tumpang tindih ini hampir 3.2 juta hektare di Indonesia,” jelasnya.

Juniver juga menyitir kesaksian Dian Kartika Rahajeng, pakar keuangan negara dari Universitas Gajah Mada. Saksi, menurut Juniver, gamblang menguraikan soal tudingan TPPU atau pencucian uang terhadap Surya Darmadi.  Saksi jelas menegaskan, bahwa tudingan transfer pricing yang dilakukan Surya Darmadi ke Singapura, adalah sumir dan tak berdasar.  Transfer pricing yang disebut sebagai indikasi pencucian uang, tak selaras dengan aset dan catatan keuangan serta rekening Surya Darmadi dan perusahaanya yang disita dan dibekukan oleh Kejaksaan.

"Bagaimana bisa dituduh TPPU. Silakan dong buktikan ada uang transfer sebesar Rp 600 miliar ke Singapura. Kan mereka lihat semua rekening dan memblokirnya, juga sita aset, ada kah seperti ditudingkan itu?," tukas Juniver.

Jika tanah yang tumpang tindih ini diproses, lanjutnya, maka ada banyak perusahaan lain yang memasuki kawasan hutan yang sama dengan apa yang dilakukan oleh kliennya.

“Kalau semua ini diproses, mungkin penjara penuh, karena ada 2000 lebih. Jadi permasalahan di negara ini adalah 3,2 juta hektare yang sama dengan kami. Bagaimana ini jalan keluarnya , jadi sangat tepat jalan keluarnya adalah bagaimana menata tumpang tindih karena ini kesalahan dari pemerintah yang tidak menata. Memberikan izin tetapi tidak diproses lebih lanjut dan prosesnya bertele-tele,” pungkasnya.

Di persidangan sebelumnya, Mantan Kepala Seksi Pengukuhan dan Tenurial kawasan hutan wilayah Sumatera, Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK), Mulya Pradata, juga mengungkapkan senada. Dipaparkannya, hingga saat ini tidak ada daerah yang telah dikukuhkan oleh KLHK menjadi kawasan hutan di Provinsi Riau. Termasuk daerah yang menjadi perkebunan kelapa sawit milik Duta Palma Group di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu).

KEYWORD :

Surya Darmadi Duta Palma Group Kasus Korupsi Perkebunan Sawit




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :