Senin, 06/05/2024 07:33 WIB

Pakar Hukum: Praktik Demokrasi dan Konstitusi Pasca Reformasi Menjauh dari Pancasila

Tim Pusat Kajian Demokrasi dan Konstitusi sangat menyadari perkembangan demokrasi dan konstitusi di Indonesia pasca reformasi dianggap menjauh dari cita-cita Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Launching dan Seminar Nasional “Konstiusi sebagai peta jalan demokrasi di Indonesia”. (Foto: Dok. Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Kalangan Pakar berpandangan bahwa praktik demokrasi yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara serta produk legislasi masih tumpang tindih.

Menurut Pakar Hukum Tata Negara Dr. Hamrin, S.H., M H., M.Si (Han), fenomena tumpang tindih dapat terlihat dari apa yang dimuat dalam kaidah dan norma pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Tim Pusat Kajian Demokrasi dan Konstitusi sangat menyadari perkembangan demokrasi dan konstitusi di Indonesia pasca reformasi dianggap menjauh dari cita-cita Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," terang dia dalam keterangan resmi, Senin (31/10).

Hal yang sama diutarakannya saat acara syukuran launching dan seminar Lembaga Pusat Kajian Demokrasi dan Konstitusi Hotel Harris Tebet, di Jakarta Selatan, belum lama ini.

Kendati begitu, Hamrin menjelaskan bahwa dalam pelaksanaannya demokrasi tak datang, tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi memerlukan usaha nyata segenap warga Negara Republik Indonesia, salah satunya melalui Pusat Kajian Demokrasi dan Konstitusi.

"Kami akan menjadi lembaga kajian yang berkolaborasi dengan beberapa pakar hukum, politik, komunikasi, sejarah, administrasi publik, ekonomi, dan praktisi," kata dia.

Hamrin bersama tim akan selalu mengedepankan kajian-kajian, dasar hukum, teori, dan sejarah dalam pengembangan demokrasi dan konstitusi di Indonesia.

Sementara itu, Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H menyampaikan kedaulatan rakyat “dogmatis konstitusional hukum positif Pancasila negara hukum menurut UUD NRI Thn 1945” itu adalah implementasi filosofis, sosiologis, teoritis, yuridis, hukum positif praktis, teknokratis, penyelenggaraan pemilu.

Menurutnya, teknokrasi administrasi manajemen publik dan privat pelaksanaan pemilu yuridis dogmatis itu adalah untuk menetapkan hasil terhadap “siapa-siapa dari seluruh rakyat Indonesia” untuk menduduki posisi pejabat di badan-badan kenegaraan dan pemerintahan yang menjadi Presiden/Wakil, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, Gubernur, Bupati, Walikota, dan DPR Kabupaten/Kota.

Dengan demikian, tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan ada lima tahapan yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. “Jelas bahwa dalam proses penyusunan UU DPR memiliki kewenangan sebagaimana diamanatkan dalam UUD NKRI 1945,” terang Ahmad Redi.

Turut hadir dalam acara tersebut, para rekan advokat dan konsultan hukum, jurnalis, akademisi, praktisi, dan mahasiswa dari perguruan Tinggi DKI Jakarta dan para undangan lainnya.

Selain itu, para narasumber yang ahli dibidangnya di antaranya Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., L.LM Pakar Hukum Tata Negara UGM, Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, S.T., M.H., Mantan Kabais TNI 2011 sd 2013, Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute dalam acara tersebut di moderatori Humaini M.A Sekaligus Direktur Litbang dan Kerjasama Pus D Kon.

 

KEYWORD :

Tim Pusat Kajian Demokrasi dan Konstitusi Pakar Hukum Tata Negara Hamrin Pancasila reformasi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :