Jum'at, 26/04/2024 11:47 WIB

Demokrasi Bukan Hanya Mencari Suara Terbanyak, Melainkan Permusyawaratan Perwakilan

Demokrasi permusyawaratan meniscayakan setiap kebijakan negara harus menjadi representasi yang utuh dari kehendak rakyat, dan mengedepankan prinsip `hikmat kebijaksanaan` sebagaimana diamanatkan dalam rumusan sila keempat Pancasila.

Ketua MPR, Bambang Soesatyo. (Foto: MPR)

Jakarta, Jurnas.com - Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan, demokrasi tidak semata-mata dibangun, atau malah terjebak, pada rujukan angka-angka mayoritas. Syarat fundamental bagi tegaknya implementasi demokrasi adalah representasi yang menyeluruh.

Harus ada jaminan bahwa setiap stakeholder atau pemangku kepentingan yang terkait atau terdampak oleh suatu keputusan/kebijakan, harus mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan/kebijakan tersebut, baik secara langsung maupun melalui perwakilan.

"Bung Hatta menyatakan bahwa demokrasi Indonesia bukan demokrasi liberal, juga bukan demokrasi totaliter. Demokrasi Indonesia berurat dan berakar di dalam pergaulan hidup. Kerakyatan yang dianut bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Sehingga menempatkan demokrasi kita sebagai demokrasi permusyawaratan perwakilan," ujar Bamsoet dalam Focus Group Discussion (FGD) MPR RI bertema `MPR Sebagai Lembaga Perwakilan Inklusif`, di Press Room MPR RI, Senin (18/10/21).

Bamsoet menjelaskan, dalam demokrasi permusyawaratan, tidak dikenal konsep diktator mayoritas, ataupun tirani minoritas dari oligarki elit, baik penguasa maupun pengusaha.

Demokrasi permusyawaratan meniscayakan setiap kebijakan negara harus menjadi representasi yang utuh dari kehendak rakyat, dan mengedepankan prinsip `hikmat kebijaksanaan` sebagaimana diamanatkan dalam rumusan sila keempat Pancasila, yaitu `Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan`.

"Orientasi etis (konsep hikmat kebijaksanaan) dihidupkan melalui daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan yang dapat menghadirkan suatu toleransi dan sintetis yang positif, sekaligus dapat mencegah kekuasaan dikendalikan oleh golongan mayoritas (mayoro-krasi) dan kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha (minoro-krasi)," jelas Bamsoet.

Bamsoet menerangkan, permusyawaratan di dalam sebuah lembaga yang inklusif dalam ketatanegaraan Indonesia kontemporer, yang paling ideal dan mendekati cita para pendiri negara bangsa, adalah melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Tidak salah jika MPR juga dinilai sebagai lembaga negara yang paling tepat untuk menginisiasi agenda-agenda yang dibutuhkan untuk merumuskan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

"Dalam konteks pembentukan haluan negara, revitalisasi perwakilan yang inklusif melalui MPR perlu dilakukan, agar permusyawaratan mengenai haluan negara dapat menjadi ruang bersama perwakilan seluruh rakyat dalam merumuskan kaidah penuntun (guiding principles) yang berisi arahan-arahan dasar (directive principles) yang bersifat ideologis dan strategis teknokratis, untuk menghimpun sebesar-besarnya kepentingan rakyat dalam membangun negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan konstitusi," terang Bamsoet.

Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri menilai, selain dengan menghadirkan Utusan Golongan dan Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI, upaya mewujudkan MPR sebagai lembaga perwakilan dan permusyawaratan yang inklusif juga akan efektif jika disertai upaya mewujudkan `partai politik yang inklusif`. Mengingat sebagian anggota MPR berasal dari partai politik.

"Idealnya upaya ini dilakukan dengan melakukan reformasi partai politik, yaitu mengembalikan dan memurnikan fungsi-fungsinya, antara lain sebagai kaderisasi/rekrutmen pemimpin, pendidikan politik, komunikasi politik, sosialisasi politik, aktualisasi dan agregasi kepentingan. Berbagai fungsi tersebut harus dijalankan oleh semua partai politik, khususnya para pimpinannya secara konsekuen dan konsisten. Tidak justru menjadikan partai politik sebagai partai dinasti atau partainya kapitalis, juga tidak menjadikan partai politik sebagai perahu yang disewakan bagi mereka yang ingin meraih kedudukan politik," tandas Kiki Syahnakri.

Moch. Nurhasim menuturkan, sebagai lembaga inklusif, MPR RI memiliki posisi penting sebagai penjaga gawang konsensus politik nasional, khususnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, pelantikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut konstitusi.

Namun Inkoherensi sistem perwakilan politik akibat amandemen keempat konstitusi, menyebabkan fungsi MPR yang melemah, hanya sebatas sebagai sidang gabungan (joint session) tanpa konsep yang jelas. Menyebabkan hakikat perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem politik Indonesia mengalami deviasi dan ketidakjelasan.

"Deviasi dalam kehidupan kenegaraan itu menyebabkan seolah-olah tidak ada lembaga yang menjadi penyeimbang dalam politik nasional dalam menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak" pungkas Nurhasim.

KEYWORD :

Kinerja MPR Bambang Soesatyo Demokrasi Permusyawaratan Perwakilan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :