Rabu, 15/05/2024 15:07 WIB

Iran Desak AS Berhenti Kecanduan Sanksi

Departemen Keuangan AS mengumumkan sanksi keuangan terhadap empat warga Iran yang dituduh merencanakan penculikan di AS terhadap seorang jurnalis Amerika keturunan Iran.

Dalam file foto ini diambil pada 06 Juni 2021 calon presiden Iran Ebrahim Raisi memberi isyarat selama kampanye pemilihan umum di kota Eslamshahr. (AFP)

Teheran, Jurnas.com - Iran mendesak Amerika Serikat (AS) untuk menghentikan kecanduannya menjatuhkan sanksi terhadap Republik Islam Iran. Negeri Para Mullah itu menuduh Presiden Joe Biden mengikuti kebijakan "jalan buntu" Donald Trump.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Saeed Khatibzadeh membuat pernyataannya sehari setelah Departemen Keuangan AS mengumumkan sanksi keuangan terhadap empat warga Iran yang dituduh merencanakan penculikan di AS terhadap seorang jurnalis Amerika keturunan Iran.

"Washington harus memahami bahwa ia tidak memiliki pilihan lain selain meninggalkan kecanduannya terhadap sanksi dan menunjukkan rasa hormat, baik dalam pernyataannya maupun dalam perilakunya, terhadap Iran," kata Khatibzadeh dalam siaran pers.

Di bawah kepresidenan Trump, Washington secara sepihak menarik diri dari perjanjian nuklir 2015 antara Teheran dan enam kekuatan utama. Ia berpandangan pakta tersebut cacat karena tidak mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan.

Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu pun, Iran mulai menangguhkan komitmen yang dibuatnya dalam JCPOA, terutama tentang pengayaan uranium.

Sejak menjabat bulan lalu, Presiden Ebrahim Raisi mengatakan mencoba untuk menghidupkan kembali kesepakatan itu dalam agenda pemerintah, tetapi tidak di bawah tekanan dari Barat.

"Beberapa kali Amerika dan Eropa telah mencoba memberikan tekanan untuk terlibat dalam dialog, tetapi sia-sia," kata Raisi dalam wawancara yang disiarkan di televisi pemerintah.

Biden mengatakan ingin mengintegrasikan kembali Washington ke dalam pakta tersebut, tetapi pembicaraan di Wina yang dimulai pada April terhenti sejak Raisi yang ultra-konservatif memenangkan pemilihan presiden Iran pada Juni.

Pada akhir Agustus, pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei menuduh pemerintahan Biden membuat tuntutan yang sama seperti pendahulunya dalam pembicaraan untuk menghidupkan kembali kesepakatan itu.

Dan pada Selasa, Menteri Luar Negeri baru Iran Hossein Amir-Abdollahian menyarankan bahwa pembicaraan Wina tidak akan dilanjutkan selama dua atau tiga bulan.

Raisi mengatakan Sabtu bahwa pembicaraan ada dalam agenda, tetapi bukan pembicaraan demi pembicaraan, atau negosiasi demi negosiasi.

"Dalam pembicaraan ini, kami berusaha untuk mendapatkan pencabutan sanksi yang menindas," tambahnya. "Kami tidak akan menyerah pada kepentingan bangsa Iran yang besar."

Teheran menuntut semua sanksi yang dijatuhkan atau diterapkan kembali padanya oleh AS sejak 2017 dicabut.

Pada Jumat, Departemen Keuangan AS mengumumkan sanksi terhadap empat operasi intelijen Iran yang dikatakan terlibat dalam kampanye melawan pembangkang Iran di luar negeri.

Menurut dakwaan federal AS pada pertengahan Juli, para perwira intelijen mencoba pada 2018 untuk memaksa kerabat jurnalis Amerika-Iran Masih Alinejad yang berbasis di Iran untuk memancingnya ke negara ketiga untuk ditangkap dan dibawa ke Iran untuk dipenjara.

Ketika itu gagal, mereka diduga menyewa penyelidik swasta AS untuk memantaunya selama dua tahun terakhir. Khatibzadeh pada bulan Juli menyebut tuduhan AS tidak berdasar dan tidak masuk akal, menyebutnya sebagai skenario Hollywood. (AFP)

KEYWORD :

Iran Amerika Serikat Ebrahim Raisi




JURNAS VIDEO :



PILIHAN REDAKSI :