Jum'at, 26/04/2024 14:29 WIB

Intimidasi Psikologi dan Teror Mewabah dalam Pilpres 2019

Intimidasi dan teror politik pada Pemilu 2019 memiliki beberapa model. Mulai dari yang soft hingga yang hard.

Pakar Politik Karyono Wibowo, Arbi Sanit dalam diskusi Komunitas KitaTidakTakut

Jakarta, Jurnas.com - Pakar Politik dan Direktur IPI, Karyono Wibowo mengatakan, pesta demokrasi Pilpres dan Pemilu Legislatif secara serentak 2019 dipenuhi dengan intimidasi dan teror.

Kata Karyono, intimidasi dan teror politik pada Pemilu 2019 memiliki beberapa model. Mulai dari yang soft hingga yang hard.

"Paling halus misalnya dalam bentuk sepanduk, misalnya isinya mengancam minoritas atau masyarakat akar rumput. Dengan narasi berbau intimidasi. Ini bertaburan di daerah," ujar Karyono dalam diskusi dan deklarasi Komunitas #KitaTidakTakut di Jakarta, Senin, 25 Maret 2019.

Diskusi menghadirkan empat pembicara, yakni Arbi Sanit (Pengamat Politik Senior UI), Laksda TNI (Purn) Soleman B.Ponto, ST (Eks. Kepala Badan Inteligen Strategis/BAIS), Stanislaus Riyanta (Pengamat Intelijen dan Keamanan), dan Karyono Wibowo (Analis Politik /Direktur Eksekutif IPI).

Dijelaskan Karyono, intimidasi paling ekatrim pun bisa terjadi dalam Pilpres, misalnya menciptakan peristiwa yang destruktif merusak, termasuk misalnya ledakan bom dan lainnya.

Dijelaskan Karyono, tujuan intimidasi dalam politik adalah untuk menciptakan ketakutan. Dan dijadikan cara pemenangan pemilu.

"Tujuannya ada dua. Pertama agar masyarakat pemilih tak mau ke TPS, kedua kalau mereka masih ke TPS, maka untuk mengarahkan agar memilih calon tertentu," jelasnya.

Sayangnya, lanjut Karyono, teror politik yang menjadi ancaman demokrasi dan ancaman peradaban kebudayaan ini tidak diikuti aturan hukum pemilu yang tegas. Padahal teror politik membuat keresahan dirasa takat. Teror ini membuat masyarakat tak bebas menentukan pilihannya.

"Sayangnya, pelaku teror dan intimidasi politik ini sulit dijerat dengan UU pemilu. Penyelesaiannya pun sering tidak jelas," kata Karyono.

Sementara itu, Pakar Pilitik dari Universitas Indonesia Arbi Sanit mengatakan, teror politik ini hanya bisa dilawan dengan pendidikan politik yang konsisten.

Mulai yang paling kecil keluarga dari orang tua kepada anak, di sekolah dari guru kepada murid, di kampus dari dosen kepada mahasiswa, serta dalam organisasi dari ketua kepada anggota.

Bagi Arbi, demokrasi Indonesia dalam posisi dilematis dan terbelakang. Di satu sisi memang harus diakui bahwa kodrat demokrasi adalah strategi dengan manipulasi dalam menyajikan pilihan kepada masyarakat.

"Manipulasi itu misalnya, menunjukkan yang satu baik sekali dan yang satunya sangat tidak baik. Dalam politik elektoral itu wajar," jelas Arbi.

Namun di sisi lain, yang muncul justru memberi ketakutan pada Masyarakat. Publik tak diberikan kesempatan untuk memilih mana yang benar-benar baik dan mana yang tidak.

"Dalam posisi ini, bisa dikatakan terjadi teror, karena masyarakat dikasi pilihan yang semuanya tidak baik. Ini teror dalam demokrasi karena masyarakat tak diberi kesempatan memilih sehingga bisa memicu golput," tegas Arbi Sanit.

Demokrasi Indonesia, jelas Arbi Sanit, masih dalam posisi terbelakang. Banyak memakai terminologi keyakinan berbau SARA untuk mencapai tujuan.

"Misalnya istilah perang total dan perang badar. Ini berbahaya karena bisa menimbulkan kebencian dan permusuha yang akut," tukas Arbi Sanit.

KEYWORD :

Intimidasi Teror Komunitas KitaTidakTakut




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :