Jum'at, 26/04/2024 07:04 WIB

Sejarawan: Tahun 1932 Ada Partai Tionghoa Indonesia

Partai Tionghoa Indonesia didirikan oleh Liem Koen Hian yang berwawasan nasionalis Indonesia. 

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), politikus Indonesia keturunan Tionghoa

Jakarta, Jurnas.com - Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan perayaan Imlek atau Tahun Baru China bisa terjadi karena etnis Tionghoa memang mempunyai sejarah panjang keberadaan di Indonesia.

Lembar sejarah Indonesia, kata Bonnie, menunjukkan bahwa WNI etnis Tionghoa terbukti ikut menghiasi wajah masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.

"Pada tahun 1932 ada Partai Tionghoa Indonesia yang didirikan oleh Liem Koen Hian. Dia seorang etnis Tionghoa yang berwawasan nasionalis Indonesia. Dia juga berkawan dengan Bung Karno," kata Bonnie saat acara Imlekan Bareng Banteng di DPP PDI Perjuangan (PDIP), Jumat (12/2/2021).

Bonnie juga mengatakan bahwa ada seorang perwira TNI AL beretnis Tionghoa bernama John Lie yang sudah ditetapkan menjadi pahlawan nasional.

"Jadi sebetulnya tidak ada perbedaan. Mereka semua punya peran, punya posisi penting, berdampingan dengan sejarah kita," jelas Bonnie.

Terkait isu rasis terhadap WNI etnis Tionghoa, Bonnie menilai hal itu bukan hal baru, bahkan sebenarnya sudah ada dari masa kolonialisme Belanda.

Ia menjelaskan penjajah Belanda saat itu mengelompokan masyarakat di Hindia Belanda berdasarkan segregasi ras atau yang disebut dengan Regering Reglement pada tahun 1854. Pertama orang kulit putih atau Eropa, kemudian orang Timur Asing dan orang Cina, serta Inlander atau pribumi.

"Jadi zaman kolonial sangat diskriminatif. Politik rasial yang sangat diskriminatif," tegas Bonnie.

Pihak-pihak yang saat ini masih memiliki pola berpikir rasial seperti itu, kata Bonnie, dapat diartikan mereka memiliki kesadaran `pra ke-Indonesiaan` atau sebelum awal abad 2020.

Padahal, jelasnya, pola pikir semacam itu sudah dilawan sejak 1928 ketika para pemuda dan pemudi Indonesia bersatu mengikrarkan Sumpah Pemuda.

"Jadi waktu ada wakilnya. Orang Tionghoa, orang Ambon, Orang Sumatera, dan dari mana-mana sudah mewakili daerahnya kemudian berikrar untuk menjadi Indonesia. Jadi meninggalkan kesadaran pra Indonesia yang sebetulnya disekat-sekat secara sempit berdasarkan segregasi ras," ungkap Bonnie.

Bonnie melanjutkan, keinginan bersatu ini diperkuat oleh pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Yang mengatakan Indonesia adalah negara oleh semua dan untuk semua.

"Pahamnya nasionalisme modern yang tidak tersekat latar belakang agama, etnis, maupun, ras," tegas Bonnie.

Sejarahpun bergulir. Perayaan Imlek di era Presiden Soekarno tidak dilarang. Namun di masa Orde Baru, Presiden Soeharto melarang perayaan Imlek melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967.

Seiring berakhirnya masa Orde Baru, Imlek kembali diperbolehkan setelah hampir 30 tahun dilarang. Adalah Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang pertamakali membolehkan Imlek pada tahun 2000.

Kebijakan itu lalu disempurnakan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional pada tahun 2002.

"Sehingga orang tidak hanya warga Tionghoa tapi non Tionghoa ikut merayakannya sebagai satu rasa kebersamaan, sebagai satu rasa dan bangsa yang tidak membeda-bedakan ras dan etnis," kata Bonnie.

Bonnie menuturkan, sebenarnya jika mengacu sejarah, pada 4.000 tahun lalu ada yang masuk ke Nusantara dari Yunnan, wilayah China saat ini. Mereka pun sudah mulai bermukim di kepulauan Nusantara.

"Jadi kalau dites DNA gitu, kita pasti punya sisi genetik dari Yunnan," ungkap Bonnie.

Atas dasar tersebut, dia meminta seluruh masyarakat tetap belajar sejarah untuk mengenal kebudayaan Indonesia sendiri.

"Sehingga kita sebagai sebuah bangsa tidak bisa dipecah belah oleh sentimen-sentimen yang sempit, bernada hasutan yang bersifat rasial," pungkas Bonnie.

KEYWORD :

Partai Tionghoa Indonesia Liem Koen Hian Bonnie Triyana Imlekan Bareng Banteng




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :