Senin, 06/05/2024 03:27 WIB

Djoko Tjandra Didakwa Suap 2 Jendral Polisi Ratusan Ribu Dolar

Dua jenderal polisi yang diduga menerima suap Djoko Tjandra yakni, Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo.

Terpidana kasus korupsi Bank Bali, Djoko Tjandra

Jakarta, Jurnas.com - Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra) didakwa menyuap dua jenderal polisi sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 420 ribu dolar Amerika Serikat sebagai imbalan penghapusan namanya dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen imigrasi).

Dua jenderal polisi yang diduga menerima suap Djoko Tjandra yakni, Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 dolar Amerika Serikat.

Selain itu, Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo menerima suap sebesar 150 dolar Amerika. Dimana, Kedua jenderal polisi itu diduga menerima uang suap itu melalui seorang pengusaha Tommy Sumardi.

"Terdakwa turut serta melakukan dengan H. Tommy Sumardi yaitu memberi uang sejumlah SGD200.000 dan USD270.000 kepada Inspektur Jenderal Polisi Drs. Napoleon Bonaparte dan memberi uang sejumlah USD150.000 Brigadir Jenderal Polisi Prasetijo Utomo," kata Jaksa saat membacakan surat dakwaan untuk Djoko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (2/11).

Dimana melalui suap tersebut, Djoko Tjandra mengupayakan namanya dihapus dari DPO yang dicatatkan di Ditjen Imigrasi, dengan menerbitkan surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham RI.

Dengan cara, menerbitkan surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham RI. Diantaranya, surat nomor B/1000/IV/2020/NCB-Div HI tanggal 29
April 2020, surat nomor: B/1030/V/2020/NCB-Div HI tanggal 04 Mei 2020, surat nomor B/1036/V/2020/NCB-Div HI tgi 05 Mei 2020.

"Yang dengan surat-surat tersebut pada tanggal 13 Mei 2020, pihak Imigrasi melakukan penghapusan status DPO atasnama Joko Soegiarto Tjandra
dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistim Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi," ucap Jaksa.

Kasus ini berawal ketika Djoko Tjandra yang sedang berada di Kuala Lumpur, Malaysia, meminta bantuan kepada rekannya, Tommy Sumardi, agar dapat masuk ke wilayah Indonesia secara sah untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus korupsi Bank Bali.

Dalam percakapan tersebut, Djoko Tjandra meminta agar Tommy Sumardi menanyakan status Interpol Red Notice atasnama dirinya di NCB INTERPOL Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri. Sebab, sebelumnya Djoko Tjandra mendapat informasi bahwa Interpol Red Notice atas nama dirinya sudah dibuka oleh Interpol Pusat di Lyon, Perancis.

Djoko Tjandra bersedia memberikan uang sebesar Rp10 miliar melalui Tommy Sumardi kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan dirinya agar bebas masuk ke indonesia terutama kepada pejabat di NCB INTERPOL Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri.

Selanjutnya, Tommy Sumardi menemui dan meminta bantuan kepada Brigjen Prasetijo Utomo selaku Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo untuk dapat memeriksa status Interpol Red Notice Joko Soegiarto Tjandra.

Kemudian, Brigjen Prasetijo Utomo, mengantarkan dan mengenalkan Tommy Sumardi kepada terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte, untuk mewujudkan keinginan Djoko Tjandra tersebut.

Setelah adanya pertemuan, terjadi siasat untuk menghapus red notice Djoko Tjandra. Tommy Sumardi bersama Brigjen Prasetijo Utomo, kembali menemui Terdakwa Napoleon Bonaparte, di ruangan Kadivhubinter Polri.

Dalam pertemuan tersebut, Napoleon Bonaparte menyampaikan bahwa red notice Joko Soegiarto Tjandra bisa dibuka, karena sudah dibuka dari pusatnya. Napoleon memastikan bahwa dirinya bisa membuka red notice Djoko Tjandra asal ada uangnya.

KEYWORD :

Djoko Tjandra Napoleon Bonaparte Prasetijo Utomo




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :