Sabtu, 27/04/2024 04:50 WIB

Opini

Memaknai Isra Mikraj

Isra berarti memperbaiki hubungan dan realitas sosial menjadi lebih baik. Dan mikraj sebagai media membuka dimensi ketuhanan dalam diri kita.

Nur Faizin

Oleh: Nur Faizin*

Peringatan Isra Mikraj 27 Rajab 1439 Hijriyah atau yang bertepatan jatuh pada 14 April 2018 dapat kita maknai sebagai refleksi bagi kehidupan. Apalagi tahun ini kita sudah memasuki tahun politik. Melalui momentum inilah kita dapat belajar kembali pada perjalanan Nabi Muhammad Saw bagaimana beliau merajut rekatan-rekatan sosial warga, mengutip almarhum Nurcholish Madjid, menuju masyarakat madani. Masyarakat aman dan sejahtera nir kekerasan, kecurigaan, dan fitnah.

Isra Mikraj adalah peristiwa penting dalam risalah kenabian Muhammad. Mukjizat Nabi Muhammad ini dapat kita maknai sebagai akar terbangunnya ikatan-ikatan keumatan dan kebangsaan di bawah panji Islam. Isra Mikraj yang menurut akal sehat belum mampu kita cerna, secara tidak langsung telah mengajarkan kepada kita untuk mengesakan Allah SWT dengan cara yang paling baik.

Isra Mikraj elan vital dalam proses kenabian Muhammad. Bagitu istimewanya hingga perjalanan Nabi Muhammad tersebut diabadikan dalam al-Qur’an Surah Al-Isra. Surah Makkiyah tersebut seperti dikatakan Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad Muhalli dalam Tafsir Al-Quran Al-‘Adhim sebagai keagungan Muhammad dalam mengemban risalahnya.

Jalaluddin, dalam kitab yang mafhum disebut Tafsir Jalalain oleh kalangan pesantren ini menjadi rujukan utama tafsir Al-Qur’an. Mengisahkan bahwa perjalanan Muhammad dari Masjd Al-Haram ke Bait Al-Maqdis di Palestina hingga ke Sidratu Al-Munthaha (setelah langit ketujuh) menemukan rintangan yang besar dari Iblis. Dengan landasan iman dan nur Rasulullah Saw beliau dapat melaju ke Sidratu Al-Munthaha dengan menaiki Bouroq (para mufassirin memaknainya semacam burung yang mempunyai kecepatan di atas cahaya). Dalam perjalanan mikrajnya, Muhammad berjumpa dengan para Malaikat dan para Nabi pendahulu seperti Adam, Yahya, Isa, Yusuf, Idris, Harun, Musa dan Ibrahim.

Yang menjadi cacatan istimewa dalam Mikraj Muhammad adalah perjalannya menuju Sidratu Al-Munthaha tidak dapat dicapai oleh Jibril ataupun para Nabi yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa Muhammad adalah manusia terpilih dan istimewa di sisi Allah SWT. Selain itu, makna paling transendental dalam Isra Mikraj Muhammad SAW adalah perintah shalat lima waktu sebagai fondasi setiap manusia.

Seperti dikisahkan Jalaluddin bahwa setelah perintah tersebut diterima, Nabi Muhammad langsung turun dan menemui Nabi Musa di langit ketujuh. Musa bertanya kepada Muhammad: “apa yang diwajibkan Tuhanmu kepada umatmu Muhammad?” Muhammad menjawab: “50 kali shalat sehari-semalam.” Musa menjawab: “Mintalah keringanan kepada Tuhanmu. Sesungguhnya umatmu tidak bakal mampu mengemban perintah tersebut. Sebab hal yang demikian pernah diperintahkan kepada umatku Bani Israil dan mereka tidak mampu” (kitab Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim, Juz I; hal. 226). Akan tetapi atas kemahabesaran Allah SWT, Nabi Muhammad SAW beserta umatnya kini hanya diperintahkan untuk menjalankan shalat lima waktu dalam sehari-semalam.

Kohesi Sosial

Perintah shalat yang diperintahkan kepada Muhammad melalui Isra Mikraj bukanlah demi kepentingan dan ketaatan hamba kepada Tuhannya semata, namun juga demi hubungan sosial yang akan tercipta antar individu dan masyarakat. Nah, di level syariat seseorang selesai dengan dirinya sendiri jika ia mampu menyempurnakan shalatnya setiap waktu.

Peristiwa tersebut tidak hanya mengisyaratkan tentang keteguhan iman kita umatnya, tapi juga bagaimana nilai isra’ mi’raj yang diemban Muhammad dapat menjadi ruh bagi kehidupan sosial kita yang saat ini lagi ‘sakit.’

Banyaknya problematika sosial yang semakin akut dewasa ini membutuhkan keteguhan iman seluruh elemen masyarakat untuk berfikir dewasa dan mengambil seluruh iktibar (kemanfaatan) sebagai referensi di masa mendatang. Menyandarkan segala urusan (bertawakal dan mengabdi) kepada Allah SWT merupakan salah satu bentuk pemaknaan yang paling transendental selain berusaha dan bersyukur. Dari sinilah kita dapat mengambil saripati bahwa hubungan sosial dan politik seyogianya terpatri nilai-nilai keimanan, nilai kemanusiaan, dan keadaban. Kita yang beriman dapat menginternalisasikan peristiwa Isra Mi`raj dalam kehidupan sehari-hari.

Tak hanya di tataran sosial politik, patologi sosial yang menggejala dewasa ini, misalnya maraknya kekerasan dan pembunuhan diberbagai daerah dengan berbagai macam tindakan dan motif, penipuan besar-besar (KKN) yang dibaluti atas nama jabatan di berbagai instansi, atau tindakan amoral lainnya yang memicu instabilitas sosial serta ketikdapercayaan antara satu orang dengan orang lain atau kelompok satu dengan kelompok lainnya merupakan penyakit akut yang diderita oleh bangsa ini. Apabila tidak ada kesadaran massif berbasis ketuhanan dan kemanusiaan untuk lebih baik maka bangsa ini akan sakit dan selanjutnya mengancam kohesi sosial.

Kesadaran sosial berbasis ketuhanan dan kemanusiaan telah diajarkan oleh Nabi Muhammad lewat serangkaian kisah dan pelajaran hidupnya. Mengapa shalat menjadi penting dengan perintah langsung pada beliau misalnya? Tidak lain sebagai bentuk ketaatan umat dan menjadi pengendali (powerd control) bagi kehidupan individu, bermasyarakat, dan bernegara.

Hal lain yang dapat kita manifestasikan ke dalam realitas sosial kita ialah dengan mengembalikan fitrah Isra Mikraj dengan sepenuhnya ketaatan guna tercipta harmonisasi yang terhubung antara Tuhan, kita, dan makhluk hidup lainnya.

Sebagai manusia kita patut bertanya untuk apa kita dilahirkan. Kita adalah manusia yang terpilih sejak sebelum kita dilahirkan ke dunia ini. Hidup akan menjadi hambar dan tidak berarti apabila kesejatian hidup ini dijalankan dengan ‘serampangan’, ‘semaunya sendiri,’ serta hanya menuruti hawa nafsunya.

Maka momentum Isra Mikraj dapat menjadi pecut bagi kehidupan kita kini dan di masa mendatang untuk selalu berbuat demi kebaikan, ketuhanan, dan kemanusiaan. Isra berarti memperbaiki hubungan dan realitas sosial menjadi lebih baik. Dan mikraj sebagai media membuka dimensi ketuhanan dalam diri kita.

*Nur Faizin, MA, alumnus Pascasarjana Sosiologi UGM Yogyakarta. Kini menggawangi Densus 26 Korwil Madura dan Pengurus Pusat GP Ansor.

KEYWORD :

Isra Mikraj Kohesi Sosial Opini




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :