Senin, 20/05/2024 13:45 WIB

AS Wanti-wanti Korea Utara Tidak Jual Senjata ke Rusia

Amerika Serikat (AS) prihatin dengan potensi kesepakatan senjata antara Rusia dan Korea Utara.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un berjabat tangan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Vladivostok, Rusia dalam foto tak bertanggal yang dirilis pada 25 April 2019 oleh Kantor Berita Pusat Korea Utara (KCNA). KCNA melalui REUTERS

JAKARTA, Jurnas.com - Gedung Putih telah memperingatkan Korea Utara agar tidak menjual amunisi ke Rusia untuk perang di Ukraina karena ketegangan antara Pyongyang dan Washington terus meningkat.

Juru bicara keamanan nasional Gedung Putih, John Kirby mengatakan pada Rabu bahwa Amerika Serikat (AS) prihatin dengan potensi kesepakatan senjata antara Rusia dan Korea Utara.

"Kami mendesak DPRK untuk menghentikan perundingan senjata dengan Rusia dan mematuhi komitmen publik yang telah dibuat Pyongyang untuk tidak menyediakan atau menjual senjata ke Rusia," kata Kirby, merujuk pada Korea Utara dengan nama resminya, Republik Rakyat Demokratik Korea.

Kirby menambahkan bahwa AS yakin Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu mencoba meyakinkan Pyongyang untuk menjual amunisi artileri ke Moskow ketika ia mengunjungi Korea Utara dan bertemu dengan pemimpinnya Kim Jong Un pada bulan Juli.

Kirby menolak merinci bagaimana para pejabat AS mengumpulkan informasi intelijen.

AS telah memperingatkan pesaing dan musuhnya, termasuk Tiongkok, agar tidak membantu Rusia dalam serangan militernya di Ukraina.

Komentar Kirby pada hari Rabu muncul hanya beberapa minggu setelah Presiden Rusia Vladimir Putin dan Kim bertukar surat yang berjanji untuk meningkatkan hubungan antara kedua negara.

"Saya yakin kami akan memperkuat kerja sama bilateral di segala bidang demi kesejahteraan kedua bangsa dan stabilitas serta keamanan semenanjung Korea dan seluruh Asia Timur Laut," kata Putin dalam pernyataannya saat itu.

Tahun lalu, AS menuduh Korea Utara diam-diam mengirimkan peluru artileri ke Rusia.

"Kami tetap khawatir bahwa… DPRK terus mempertimbangkan untuk memberikan dukungan militer kepada pasukan militer Rusia di Ukraina," kata Kirby. "Diskusi tingkat tinggi mungkin berlanjut dalam beberapa bulan mendatang," kata dia.

Misi Korea Utara dan Rusia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York tidak segera menanggapi permintaan komentar dari kantor berita Reuters.

Baik Korea Utara maupun Rusia sebelumnya membantah tuduhan AS mengenai senjata.

Namun Korea Utara berpihak pada Rusia terkait perang di Ukraina, dan bersikeras bahwa kebijakan hegemonik negara-negara Barat yang dipimpin AS telah memaksa Moskow mengambil tindakan militer untuk melindungi kepentingan keamanannya.

Korea Utara berada di bawah sanksi berat PBB atas program nuklir dan rudal balistiknya, sementara Rusia juga menghadapi serangkaian sanksi AS dan Barat atas invasi mereka ke Ukraina tahun lalu.

"Kerja sama keamanan atau kesepakatan senjata apa pun antara Korea Utara dan Rusia pasti akan melanggar serangkaian resolusi Dewan Keamanan PBB," kata Departemen Luar Negeri AS pada tanggal 15 Agustus.

Peringatan terbaru AS kepada Korea Utara muncul ketika Pyongyang terus meluncurkan rudal balistik antarbenua yang bertentangan dengan Washington.

Pada Rabu, militer Korea Selatan mengatakan Korea Utara menembakkan dua rudal balistik lagi hanya beberapa jam setelah AS menerbangkan pesawat pembom jarak jauh di wilayah tersebut.

Juru bicara Gedung Putih, Karine Jean-Pierre mengutuk peluncuran rudal pada hari Rabu sebagai ancaman terhadap stabilitas regional.

Korea Utara telah menyatakan kemarahannya terhadap AS karena mengadakan latihan angkatan laut bersama dengan Korea Selatan dan Jepang, dan mengatakan awal pekan ini bahwa latihan di Semenanjung Korea meningkatkan bahaya perang nuklir.

Washington menuduh Pyongyang melanggar resolusi PBB dan mengacaukan stabilitas kawasan dengan uji coba rudalnya.

Selama pertemuan puncak trilateral di dekat Washington, DC bulan ini, AS bersama Korea Selatan dan Jepang berjanji untuk memperdalam kerja sama keamanan melawan Korea Utara, termasuk berbagi data peluncuran rudal secara real-time.

Mantan Presiden AS Donald Trump melakukan pembicaraan langsung dengan Kim selama masa jabatannya, namun pertemuan tingkat tinggi antara kedua negara terhenti di bawah kepemimpinan Presiden AS saat ini Joe Biden.

"Kami tetap berkomitmen pada pendekatan diplomatik terhadap DPRK dan menyerukan DPRK untuk terlibat dalam dialog seperti yang telah kami lakukan selama beberapa waktu sekarang," kata Jean-Pierre.

Setelah pertemuan pertama antara Trump dan Kim pada tahun 2018, kedua negara mengatakan dalam pernyataan bersama bahwa Korea Utara berkomitmen untuk “bekerja menuju denuklirisasi menyeluruh di Semenanjung Korea”.

Namun janji tersebut tidak pernah diikuti dengan upaya untuk mengakhiri program senjata nuklir Korea Utara. Korea Utara melakukan uji coba senjata nuklir pertamanya pada tahun 2006 dan melanggar larangan internasional.

Sejak itu, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat mengeluarkan sejumlah resolusi yang menjatuhkan sanksi terhadap negara tersebut atas program nuklirnya.

Tahun lalu, Rusia dan Tiongkok memveto usulan Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan hukuman lebih banyak terhadap Korea Utara, dengan alasan bahwa sanksi tersebut tidak efektif dalam mengekang program nuklir negara tersebut.

Sumber: Al Jazeera

KEYWORD :

Korea Utara Amerika Serikat Perang Rusia Ukraina




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :