Jum'at, 03/05/2024 04:37 WIB

Riak tanpa Suara Kurikulum Merdeka di Sekolah Khusus

Dengan Kurikulum Merdeka, Ninin bisa lebih sering melibatkan peserta didik dalam pembelajaran ke luar kelas, hal yang tidak didapati dari kurikulum sebelumnya.

Siswa disabilitas rungu mengerjakan keterampilan wirausaha (Foto: Muti/Jurnas.com)

Banten, Jurnas.com - Saban pagi, Ninin Juaningsih berdiri di depan kelas. Di hadapannya, para siswa dari disabilitas rungu sudah siap menerima ilmu baru darinya.

Hari itu, spidol Ninin meliuk-liuk di papan tulis. Beberapa detik kemudian, oret-oretan itu tampak seperti sebuah daun. Ya, Ninin sedang menggambar daun, tapi sayangnya, pelajaran hari itu bukan kelas menggambar.

"Daun, itu daun. Saya lihat daun," kata Ninin menirukan bahasa isyarat salah satu siswa disabilitas rungu yang mengikuti kelasnya. Siswa lain juga tak mau kalah. Mereka mencoba menyampaikan redaksi yang tak jauh berbeda.

"Di mana ada daun?" Ninin bertanya balik dengan tarian jemarinya.

"Di luar ada banyak, Bu," jawab siswa itu, tanda dia paham dengan bahasa isyarat yang disampaikan Ninin.

"Mau belajar lihat daun di luar, anak-anak?" jemari guru Sekolah Khusus (SKh) Negeri 02 Lebak, Banten itu kembali sibuk dengan pertanyaan lanjutan.

"Mau," jawab mereka serempak. Lagi-lagi, hanya isyarat jari, tanpa sepatah kata yang keluar dari rongga suara mereka, bak riak-riak kegirangan dalam kesunyian.

Kata Ninin, siswa disabilitas rungu hanya bisa berkomunikasi melalui bahasa isyarat. Oleh karena itu, butuh usaha lebih ketika memberikan materi pembelajaran di depan kelas.

Namun, kesulitan ini dipermudah dengan pelaksanaan Kurikulum Merdeka di SKh Negeri 02 Lebak. Dengan kurikulum anyar tersebut, dia bisa lebih sering melibatkan peserta didik dalam pembelajaran ke luar kelas, hal yang tidak didapati dari kurikulum sebelumnya.

Kurikulum Merdeka juga disambut baik oleh para siswa. Pembelajaran berdiferensiasi yang ditekankan dalam kurikulum ini, memungkinkan mereka belajar melalui media apapun, termasuk gambar daun tersebut.

"Dari gambar daun tadi, mereka bermain ke luar mencari daun. Ada yang menggolongkan daun besar dan daun kecil, sebagian ada menjumlahkan daun. Dari sini saja kita sudah bisa memberikan materi soal penjumlahan dan ukuran benda," terang Ninin.

Terdapat 154 siswa berkebutuhan khusus di SKh Negeri 02 Lebak. Disabilitas terbanyak, menurut Kepala Sekolah Skh Negeri 02 Lebak, Achmad Farid, ialah disabilitas grahita dan disabilitas autis.

Saat ini, lanjut Farid, pihaknya menyediakan berbagai media pembelajaran dan keterampilan untuk siswa berkebutuhan khusus, sebagai bagian dari Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM). Termasuk di antaranya, tata boga, tata busana, otomotif, wirausaha, dan pertanian.

"Sekarang anak-anak lebih banyak belajar di luar. Kami siapkan banyak gazebo di belakang sekolah, dan lahan menanam singkong untuk kegiatan project based learning (PBL)," kata Farid di sela-sela kegiatan Presstour Ditjen PAUD Dikdasmen Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) pada Rabu (14/6) di Rangkasbitung, Banten.

Perwakilan Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak, Usep Saepul Anwar, menyambut baik pelaksanaan Kurikulum Merdeka yang saat ini sudah diterapkan 100 persen di jenjang SD dan SMP. Sedangkan di level PAUD persentasenya baru menginjak 37 persen.

"TK/PAUD kebanyakan swasta, kemudian banyak kendala yang harus diselesaikan. Kami optimistis IKM ini bisa diimplementasikan ke depan," tutup Usep.

KEYWORD :

Sekolah Khusus SKh Negeri 02 Lebak Kurikulum Merdeka Kemdikbudristek




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :