Sabtu, 11/05/2024 13:13 WIB

Berusia 25 Tahun, Kini KPK Tidak Profesional, Tidak Independen, dan Tidak Berintegritas

Presiden Jokowi telah tercatat sebagai presiden yang menyetujui perubahan UU KPK yang melemahkan KPK dalam pemberantasan Korupsi di Indonesia. 

Diskusi 25 Tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Universitas Paramadina Jakarta, Senin (3/4/2023). Foto: dok. jurnas

JAKARTA, Jurnas.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah salah satu dari tiga lembaga negara anak kandung reformasi, 25 tahun silam. Dua lembaga lainnya adalah Mahmakah Konstitusi (MK) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sayangnya, Orde Reformasi ini pula yang kini berhasil melemahkan lembaga antirasuah ini.

Demikian benang merah diskusi publik Universitas Paramadina Jakarta yang mengusung tema “25 Tahun Reformasi – Mengembalikan Marwah KPK sebagai Institusi Penegak Hukum yang Independen, Profesional dan Berintegritas,” Senin (3/4/2023).

Hadir sebagai pembicara Saut Situmorang (Mantan Komisioner KPK RI), Bivitri Susanti, S.H., L.L.M. (Ahli Hukum), Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. (Ahli Hukum/Mantan Ketua MK RI), dan Sudirman Said, MBA (Pegiat Anti Korupsi/Mantan Menteri ESDM).

Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini dalam pengantarnya menyampaikan bahwa KPK sekarang dengan KPK dulu jelas sudah berbeda. KPK sejak dulu memang selalu ingin dilemahkan, dimatikan, “dibunuh”.

“Selama itu pula sejak 2008-2009 KPK selalu ingin dilemahkan, dan itu belangsung terus menerus hingga kini,” kata Prof Didik.

Tapi Kuncinya sebenarnya, kata Prof. Didik, ketika presiden tidak setuju KPK dilemahkan, maka rencana pelemahan KPK akan selalu gagal. Semua aspek pelemahan KPK berhasil atau tidaknya amat bergantung dengan persetujuan presiden.

“Presiden Jokowi telah tercatat sebagai presiden yang menyetujui perubahan UU KPK yang melemahkan KPK dalam pemberantasan Korupsi di Indonesia. Meskipun demo dari ratusan ribu mahasiswa berlangsung dengan hebatnya di seluruh negeri, tetap tidak berhasil menggagalkan rencana pelemahan KPK,” ujarnya.

Menurut Prof. Didik, begitu KPK dilemahkan, maka KPK akan menjadi alat politik untuk membunuh lawan-lawan politik. Sehingga demokrasi akan mengarah pada demokrasi hutan rimba.

Senada dengan Prof. Didik, Saut Situmorang mengaku sedih melihat kondisi KPK sekarang. KPK saat ini dinilai tidak profesional, tidak berintegritas, dan tidak independen.

“Hal itu menggambarkan bahwa KPK memang dipimpin oleh orang-orang bermasalah. Bertindak sangat politis dalam pemberantasan korupsi,” kata Saut.

Ada cukup banyak fakta yang menurut Saut bahwa KPK saat ini sangat tidak independen, tidak professional, dan tidak berintegritas. Delapan tahun terakhir tidak ada nilai positif yang diperbuat oleh KPK.

Pada 2019 sebelum ada revisi UU KPK Indeks Prestasi Korupsi KPK ada pada posisi 40. Ketika UU KPK direvisi IPK turun ke 37, dan lalu kini anjlok lagi ke posisi 34.

“Itu semua tidak bisa dibantah ada hubungannya dengan pelemahan KPK dalam pemberantasan korupsi,” tegasnya.

Begitu juga Bvitri Susanti, ia menilai persoalan utama yang membelit KPK saat ini adalah tidak profesional, tidak independen, dan tidak berintegritas.

Menurut Bvitri, parameter dari krisis independen KPK, sebenarnya mencerminkan pada posisi KPK vis a vis dengan lembaga-lembaga lain yang membuat keputusan politik.

Terutama sosok presiden, dalam peristiwa “Pembunuhan KPK” yang dilakukan sebenarnya adalah memindahkan KPK di bawah kendali presiden.

“Dalam teori kekuasaan dan lembaga-lembaga negara, disebutkan ketika suatu situasi sebuah lembaga ‘diizinkan lahir’ oleh politisi, dan kemudian oleh konfigurasi politik yang berbeda, dia tidak lagi diizinkan eksis dan dia dibunuh,” kata Bvitri.

Ketika KPK lahir pada 2002, tidak ada tantangan sama sekali dari lembaga negara yang lain, hal itu karena ramainya tantangan internasional, LOI IMF, trend dunia dan sebagainya. Tapi ketika para politisi dan lembaga-lembaga menganggap KPK adalah lembaga yang terlalu “berbahaya”, maka KPK dicoba terus dilemahkan. Ada kasus Cicak-Buaya, Kasus Bibit Chandra, kasus Novel Baswedan 1 (2015), kasus Bambang Widjojanto, dan Abraham Samad.

“Dan akhirnya terjadi kasus Cicak – Buaya 4.0 pada 2019 dan KPK berhasil juga dilumpuhkan,” katanya.

Begitu jugan dengan kata kunci profesional dan berintegritas. Dalam survei Kompas terbaru ada jejak pendapat terhadap tiga anak kandung reformasi ini. Ketiganya saat ini memiliki tingkat kepercayaan masyarakat yang sangat rendah. Dengan kurva penurunan yang sangat jelas indikatornya mulai dari bagus, sedang, kurang dan jelek sekali.

“Pertanyaannya, kenapa hal itu terjadi? jawabannya bukan pada ‘PR’ atau Key Performance Indikator (KPI) dari para Komisioner, tidak, tapi hal ini sudah masuk ranah Politik. Apakah KPK dinilai sudah ‘terlalu berbahaya’ bagi para politisi yang sekarang sedang mapan dan oligarki yang sedang menikmati sekali kebijakan state capture corruption yang menguntungkan oligaki dan merasa terganggu atau tidak oleh KPK,” tutur Bvitri.

Sementara Hamdan Zulva menyampaikan bahwa tujuan menempatkan posisi KPK ketika didirikan berada di atas dari lembaga-lembaga negara lain seperti Kejaksaan, Kepolisian, BPK dan lain-lain lembaga pemeriksaan dan pengawasan, dimaksudkan agar KPK dapat mengoordinasi dan mensupervisi agenda-agenda pemberantasan korupsi. Sehingga memang KPK diupayakan menjadi lembaga yang superbody.

Oleh karena itu sangat dibutuhkan orang-orang yang punya integritas tinggi, professional, dan independen agar KPK tidak mudah disalahgunakan.

Korupsi di Indonesia telah belangsung lama dan amat banyak kasus korupsi, terjadi di mana-mana. Maka dalam memilih kasus yang banyak itu, di situlah dibutuhkan fungsi KPK yang independen agar tidak bias oleh kepentingan-kepentingan tertentu ketika memilih kasus.

“Ketidak independenan KPK akan sangat memengaruhi kepentigan perang dalam pemberantasan korupsi secara keseluruhan,” kata Zulvan Lindan.

Idealnya memang KPK tidak terlalu banyak memilih kasus, tetapi kasus yang dipilih KPK harus yang mempunyai gaung dan efek yang besar menimbulkan keengganan orang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Sehingga diharapkan korupsi di Indonesia menjadi berkurang.

“Itu cita cita luhurnya. Paling tidak pada 25 tahun, korupsi di Indonesia akan jauh berkurang. Sekarang, setelah 25 tahun reformasi rupanya tidak ada perubahan apa-apa,” katanya.

KPK semakin lama semakin declining. Semakin mengkhawatirkan. Ketika KPK hanya memilih kasus-kasus yang tidak begitu penting, di situlah ada bahaya besar, yakni ancaman bagi negara hukum di Indonesia.

Sedangkan Sudirman Said mengatakan, jika KPK saat ini sudah tidak profesional, tidak berintegritas, dan tidak independen, maka sebaiknya dibubarkan saja. Sebab keberadaan KPK sudah lebih banyak melahirkan mudarat daripada manfaat.

Menurut Sudirman Said, pada Reformasi 1998 ada cita-cita ingin mengadili Soeharto dan kroni-kroninya, amandemen konstitusi UUD 1945, penghapusan dwifungsi ABRI, otonomi daerah seluas-luasnya, tegakkan supremasi hukum, dan membangun pemerintahan yang bersih dari KKN.

Ke 6 agenda di atas jika di frame semangatnya adalah bagaimana menghilangkan praktik korupsi, sebab itu bagian yang terbesar dari penyakit bangsa kita ketika itu. KKN, pertalian politik tentara dan sipil, tidak adanya check and balance.

“Memang semangatnya adalah betul-betul ingin melakukan purifikasi dari praktik bernegara,” kata Sudirman Said.

“Maka KPK adalah satu simbol, kenapa kita harus melakukan itu. KPK diharapkan seluruh kehidupan negara dari hulu sampai hilir bisa dibersihkan dari korupsi,” imbuhnya.

Dengan alasan itulah kemudian memang KPK didesain sangat sempurna. Kewenangannya super, orang-orangnya super bersih, terpilih dari orang-orang terpilih dan kode etiknya sebegitu rupa, sehingga Ketua KPK dilarang keras bertemu sendirian dengan orang lain, apalagi dengan yang berperkara.

Kasus yang dipilih pun memang kasus-kasus yang super. Karena niatnya bukan untuk memberantas semua tindak korupsi, tapi ingin memberikan satu trigger effect, di mana efek pemicunya dengan mengambil kasus-kasus terbesar yang punya fenomena perhatian publik.

“Sayang setelah 25 tahun semua keunggulan KPK lenyap,” tutup Sudirman Said.

KEYWORD :

KPK Universitas Paramadina Jokowi Korupsi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :