Sabtu, 27/04/2024 21:35 WIB

Sederet Kritik Pedas Rektor UMJ atas Kebijakan Nadiem

Menurut Murod, saat ini mahasiswa cenderung mempersiapkan diri menjadi pekerja demi memenuhi kebutuhan dunia industri, alih-alih membekali diri dengan pengetahuan teoritis.

Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Ma`mun Murod bersama Wakil Rektor I Muhammad Hadi (kiri) dan Wakil Rektor IV Septa Chandra (kanan)

Jakarta, Jurnas.com - Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Ma`mun Murod melancarkan sederet kritik pedas terhadap kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim.

Menurut Murod, saat ini mahasiswa cenderung mempersiapkan diri menjadi pekerja demi memenuhi kebutuhan dunia industri, alih-alih membekali diri dengan pengetahuan teoritis.

Kebiasaan mahasiswa membaca buku lintas program studi dan pemandangan diskusi di sudut-sudut kampus, kata Murod, juga mulai ikut berkurang, karena mahasiswa dituntut lulus lebih cepat.

"Aktivis dalam satu kelas kalau bisa sampai lima saja itu luar biasa. Yang membaca, diskusi, kalau di kisaran 5-10 itu luar biasa. Sekarang yang jumlahnya sedikit, lalu ada kebijakan yang membuat mahasiswa melewatkan kecerdasan-kecerdasan itu," kata Murod dalam kegiatan media gathering UMJ bersama Forum Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan (Fortadik), sekaligus penandatanganan MoU dengan Media Indonesia pada Jumat (3/3) kemarin.

"Mahasiswa sekarang kalau punya buku wajib saja sudah luar biasa. Apalagi kalau dituntut punya buku-buku lain. Sekarang sulit mencari mahasiswa yang punya buku-buku di luar program studinya. Diajak bicara soal filsafat politik atau sosiologi tidak nyambung," imbuh dia.

Sebab fokus dengan kegiatan di luar kampus pula, lanjut Murod, minat mahasiswa mengasah kemampuan kepemimpinan (leadership) di perguruan tinggi melalui Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa, maupun organisasi lainnya menurun.

Dalam kesempatan itu, Murod juga menyoroti kebijakan Mendikbudristek membatasi jumlah dosen tidak tetap di perguruan tinggi. Saat ini, dosen tidak tetap yang boleh dimiliki kampus proporsinya hanya 10 persen dari jumlah dosen tetap.

"Misalnya ada 10 dosen tetap, maka dosen tidak tetapnya ada satu. Dalam kebijakan baru ini, (jika ingin mengundang dosen tidak tetap di luar kuota) hanya terbatas kuliah umum," terang dia.

Hal ini menurut Murod memengaruhi kualitas pembelajaran di ruang kelas. Sebab, keberadaan dosen tetap tetap dibutuhkan untuk berbagi pengetahuan (sharing knowlegde) kepada mahasiswa maupun dosen lainnya.

"Setidaknya ketika dosen tidak tetap mengajar, ada semangat dari para mahasiswa," papar dia.

Sementara itu, Wakil Rektor I UMJ, M. Hadi melemparkan kritik lainnya. Dia mengeluhkan kebijakan akreditas melalui Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) yang dinilai terlalu mahal bagi perguruan tinggi swasta yang memiliki anggaran terbatas.

"Kalau (akreditasi) swasta, rata-rata per prodi itu Rp55 juta untuk empat tahun. Kalau bagi PTN (perguruan tinggi negeri) mungkin tidak masalah. Kalau PTS (perguruan tinggi swasta) masalah, karena uangnya sedikit," ungkap Hadi.

"Ada hibah akreditasi hanya Rp30 juta per prodi dan satu perguruan tinggi hanya diberi jatah dua prodi. Kalau ada 59 prodi dan hanya dapat jatah dua, sama saja dengan setengah hati," imbuh dia.

KEYWORD :

Universitas Muhammadiyah Jakarta UMJ Nadiem Anwar Makarim Ma`mun Murod




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :