Kamis, 02/05/2024 19:39 WIB

Kisah "Ibu Guru Jawa" Potret Pendidikan di Pelosok Papua

Kisah

Iffah, alumni Indonesia Mengajar (Foto: Muti/Jurnas.com)

Jakarta, Jurnas.com - Semesta mendukung. Demikian yang dirasakan Iffah Sulistyawati Hartana ketika ketertarikannya terhadap segala hal berbau Papua, mengantarkan alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengabdi selama satu tahun di salah satu pelosok Papua, melalui gerakan Indonesia Mengajar.

Ada banyak hal yang membuat Iffah tertarik dengan Papua. Salah satunya anak-anak Papua yang mampu berprestasi di tengah keterbatasan akses.

Tepat 17 September 2021, Iffah menjejakkan kaki dari Sorong, Papua Barat. Dari ibu kota ini, dia masih harus menempuh perjalanan darat selama enam jam, untuk menuju Kabupaten Maybrat, sebuah kawasan yang masih asing di benaknya.

Kesan positif Iffah dapatkan ketika tiba di Maybrat. Masyarakat menyambut baik kedatangannya. Dia juga diperlakukan dengan baik oleh orang tua asuh, yang mengurusnya selama setahun mengabdi.

Satu hal yang tak pernah lekang dari ingatan Iffah ialah ketika dia mendapatkan panggilan khusus dari anak-anak desa di Maybrat. Ibu Guru Jawa. Panggilan itu sempat melekat, setelah anak-anak desa tahu Iffah berasal dari Jakarta.

"Pas masuk ke desa, anak-anak menyambut saya. Mereka bilang `ibu guru Jawa`. Mereka tahu saya dari Jakarta," kenang Iffah dalam kegiatan konferensi pers jelang Konferensi Pendidikan di Timur Indonesia, yang digelar Indonesia Mengajar pada Selasa (20/9) kemarin.

12 bulan di Maybrat, Iffah mendapatkan gambaran berbeda tentang pendidikan di Papua. Di tengah keterbatasan akses, anak-anak Papua memiliki semangat belajar dan rasa ingin tahu yang cukup tinggi.

Jika tidak puas dengan pengetahuan yang didapatkan di ruang-ruang kelas, mereka terbiasa mengakses internet dengan koneksi seadanya, untuk mendapatkan berbagai informasi tambahan melalui platform video.

"Anak-anak sadar kalau mereka sering kali diajarkan sesuatu yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Contoh, mereka belajar tentang jerapah, tapi tidak pernah melihat jerapah itu seperti apa," ujar Iffah.

Teknologi memang memberikan kemudahan dalam menemukan informasi baru. Namun, di sisi lain, transformasi teknologi menimbulkan kendala. Perubahan yang begitu cepat, membuat anak-anak Papua gelagapan.

"Tiba-tiba dikasih teknologi tanpa dikasih tahu cara memanfaatkan. Tapi, menurut aku ajaib banget sih, karena anak-anak tetap bisa sepenasaran itu," imbuh dia.

Rasa takjub Iffah bertambah ketika mengetahui anak-anak Papua berjuang menghadapi penyamarataan pendidikan, di saat mereka kesulitan mengejar standar minimal pendidikan.

Pernah suatu ketika, Iffah berbincang dengan salah seorang guru di Maybrat, saat sedang menyiapkan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). Alih-alih disamaratakan, dia lebih setuju pendidikan diberlakukan secara kontekstual.

Namun, jawaban dari guru tersebut membuat dia tertampar. Dikatakan, bahwa penyamarataan pendidikan seperti saat ini, cukup efektif untuk meningkatkan semangat anak-anak Papua, bahwa yang mereka pelajari sama halnya dengan yang diajarkan kepada siswa-siswa di Jawa.

"Momen ini jadi semangat, bahwa di Jawa juga (diajarkan) seperti ini. Ternyata pelakunya sendiri di sana (Papua) tidak merasa ini susah. Dan itu banyak banget. Dengan keberadaan kurikulum yang susah, justru jadi semangat untuk bisa," tutup Iffah.

KEYWORD :

Papua Potret Pendidikan Ibu Guru Jawa Indonesia Mengajar




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :