Selasa, 14/05/2024 05:00 WIB

Anggota DPR: Kebijakan Larangan Ekspor Minyak Goreng Perlu Dievaluasi

Bukan solusi, perlu di evaluasi. Kasusnya serupa kebijakan larangan ekspor batu bara, sangat terkesan emosional, akhirnya rugi. Bila kegiatan ekspor minyak goreng dilarang, maka industri dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi. Jangan sampai Larangan kebutuhan ekspor Minyak Goreng mengakibatkan kerugian.

Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PKS, Rafli. (Foto: Parlementaria)

Jakarta, Jurnas.com - Keputusan Presiden Joko Widodo melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya (CPO) per 28 April 2022 mendatang menuai kontroversi. Kebijakan tersebut dinilai bersifat emosional jangka pendek dan hasilnya terindikasi merugikan seperti kebijakan batu bara.

“Bukan solusi, perlu di evaluasi. Kasusnya serupa kebijakan larangan ekspor batu bara, sangat terkesan emosional, akhirnya rugi. Bila kegiatan ekspor minyak goreng dilarang, maka industri dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi. Jangan sampai Larangan kebutuhan ekspor Minyak Goreng mengakibatkan kerugian,” terang Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Rafli dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Senin (25/4).

Menurut dia, saat ini yang paling mendesak adalah pemerintah perlu mengakomodir siklus perdagangan CPO, bukan serta merta stop ekspor. “Itu bukan solusi menyeluruh,” tambah Rafli.

Data produksi minyak goreng tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton, sebanyak 5.07 ton (25,05 persen) digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan 15,55 juta ton (74,93 persen) di ekspor. Berdasarkan presentase tersebut surplus produksi sangat besar.

Kebijakan ekspor, hanya perlu diseimbangkan dengan mekanisme subsidi minyak goreng dalam negeri dengan pola Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang sudah diatur.

Hal tersebut sudah dipraktekan negara tetangga Malaysia. Mereka penghasil CPO kedua di dunia, dengan harga minyak goreng Rp 8.500/kg. Bandingkan, Indonesia sebagai penghasil minyak goreng no 1 dunia, harga relatif lebih mahal.

Rafli yang Anggota Komisi VI DPR RI ini menyarankan pemerintah untuk berdialog dengan para produsen minyak goreng untuk evaluasi kebijakan ini.

“Bila perlu studi banding. Ingat, komoditi ekspor berkontribusi besar bagi devisa,” tegasnya.

Dia juga mengusulkan untuk menjaga stabilitas harga. Setiap daerah penghasil kelapa sawit harus ada pabrik pengolahan minyak goreng.

“Di sisi lain ada 3 Perusahaan besar BUMN tbk penghasil minyak goreng, semestinya Pemerintah mampu bikin harga lebih murah,” demikian Rafli.

KEYWORD :

Warta DPR Komisi VI larangan ekspor minyak goreng BUMN Rafli PKS




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :