Sabtu, 27/04/2024 09:06 WIB

MPR: Tahun 2022, Ciptakan Politik Kebangsaan yang Teduh

Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani mengimbau kepada semua pihak, baik rakyat maupun elite untuk menciptakan politik kebangsaan yang lebih teduh. Salah satu caranya dengan tidak menonjolkan politik identitas.

Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani (kanan) dengan Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli dalam diskusi 4 Pilar MPR di Jakarta, Rabu (15/12/2021).

JAKARTA, Jurnas.com – Tahun 2022 dipastikan mulai memasuki tahun politik sebagai persiapan menghadapi Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024. Tahun politik biasanya diikuti oleh tensi politik yang juga meningkat.

Dalam konteks ini, Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani mengimbau kepada semua pihak, baik rakyat maupun elite untuk menciptakan politik kebangsaan yang lebih teduh. Salah satu caranya dengan tidak menonjolkan politik identitas.

“Jangan juga, terutama yang jadi pejabat, mengeluarkan statement-statement yang kontroversial. Misalnya  pernyataan kalau berdoa itu tidak perlu bahasa Arab, karena Tuhan kita bukan orang Arab,” kata Arsul dalam diskusi 4 Pilar MPR RI dengan tema "Refleksi Politik Kebangsaan Tahun 2021” di Pressroom Parlemen Jakarta, Rabu (15/12/2021).

Menurut Arsul, statement itu menjadi kontroversial, ketika yang mengucapkan adalah seorang pejabat negara. “Hemat saya para pejabat negara, terutama yang ada di jajaran eksekutif, menghindarkan diri (mengeluarkan pernyataan kontroversial) agar situasi kebangsaan kita itu lebih terjaga,” katanya.

Arsul menegaskan, para elite bangsa mesti belajar dari pengalaman Pilpres tahun 2014 dan tahun 2019 yang memunculkan politik identitas yang sangat tajam. Salah satu penyebabnya akibat hanya ada dua pasang calon presiden.

“Karena itu, kalau menurut hemat saya, meskipun itu belum menjadi keputusan resmi, yang harus kita dorong itu tampilnya pasangan calon dalam pilpres yang tidak hanya dua, minimal 3, ideal lagi lebih dari 3,” katanya.

Menurutnya, politik identitas memang tidak bisa dihilangkan, sebab setiap orang pasti punya identitas, apakah berbasis agama, berbasis suku, atau berbasis ideologi.

“Yang bisa kita lakukan adalah bagaimana mengelola politik identitas itu agar tetap ada dalam koridor yang bisa kita terima, koridor yang wajar, koridor yang tentu tidak anarkis, dan tidak melanggar hokum,” ujarnya.

Senada dengan Arsul Sani, Lili Romli, Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, memang sudah menjadi tradisi, menjelang pemilu situasi politik menjadi panas, karena politik adalah kekuasaan dan bagaimana cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.

“Tetapi juga yang kita inginkan, di sana ada etika yang mesti diperhatikan, bahwa di satu sisi kerja-kerja politik itu harus dilakukan, tetapi tugas-tugas untuk melayani rakyat juga harus diutamakan,” katanya.

Untuk menghilangkan polarisasi seperti yang terjadi di Pilpres 2014, 2019, dan juga mungkin di tahun 2024, Lili Romli usul menghilangkan presidensial threshold, atau setidaknya diturunkan, sama dengan parliamentary threshold yaitu 4 persen, tidak lagi 20 persen.

KEYWORD :

MPR RI Politik Kebangsaan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :