Jum'at, 26/04/2024 10:04 WIB

DPR Tegaskan Implementasi Pajak Karbon Harus Disertai Peta Jalan Memadai

Instrumen pajak karbon ini kami perjuangkan sebagai bukti komitmen Indonesia menuju ekonomi hijau dan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebanyak 29 persen pada 2030 sesuai Perjanjian Paris.

Anggota Komisi XI DPR, Puteri Anetta Komarudin.

Jakarta, Jurnas.com - Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Puteri Anetta Komarudin menegaskan bahwa penerapan pajak karbon harus disertai peta jalan yang komprehensif sebagai komitmen penanganan perubahan iklim. Selain itu, hal tersebut juga dilakukan untuk menciptakan ekosistem industri nasional yang berkelanjutan.

“Instrumen pajak karbon ini kami perjuangkan sebagai bukti komitmen Indonesia menuju ekonomi hijau dan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebanyak 29 persen pada 2030 sesuai Perjanjian Paris. Penerimaan pajak ini nantinya juga dapat mendukung pendanaan untuk upaya pengendalian perubahan iklim. Namun, agar tepat dan tercapai, pemerintah harus menyiapkan peta jalan yang jelas dan terarah sebagai pedoman implementasi. Jika tidak terarah, justru pajak ini dapat menghambat pencapaian target dan adaptasi industri atas kebijakan ini,” jelas Putri dalam keterangan tertulis, Selasa (5/10).

Sebagai informasi, naskah Rancangan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Pajak (RUU HPP) ini menyebutkan, pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pengenaan pajak tersebut dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan atau peta jalan pasar karbon.

“Peta jalan ini harus memuat tahapan penerapan pajak karbon itu sendiri. Mulai dari sektor-sektor yang akan dikenakan pajak karbon, mekanisme perluasannya, infrastruktur pendukung, hingga regulasi turunan. Kita juga harus memperhatikan kesiapan dari pelaku usaha untuk sepenuhnya menerapkan pajak ini. Apalagi instrumen ini terbilang masih relatif baru. Dalam lingkup ASEAN sendiri, baru Singapura yang sudah menerapkan. Itu pun masih terbatas pada sektor industri dan pembangkit,” ujar Puteri.

Lebih lanjut, penerapan pajak karbon ini rencananya mulai berlaku pada 1 Januari 2022. Di tahap awal, pajak karbon akan dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batu bara dengan tarif Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

“Penentuan sektor yang akan dikenai pajak ini juga harus dilakukan secara hati-hati. Terutama dengan memperhatikan dampaknya terhadap biaya produksi yang tentunya akan berpengaruh terhadap harga dan daya beli masyarakat. Ini mengingat kita juga tengah berjuang memulihkan konsumsi masyarakat. Oleh karenanya, aspek kesiapan ekonomi tidak bisa diabaikan,” tegas Puteri.

Menutup keterangannya, Ketua Bidang Keuangan dan Pasar Modal DPP Partai Golkar ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan harmonisasi antara upaya pemulihan ekonomi dan pencegahan maupun penanganan dampak krisis iklim.

“Keduanya dapat dan harus berjalan beriringan karena keduanya merupakan sektor kehidupan yang saling berkaitan dan menjadi tumpuan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah perlu selaraskan peta jalan ini agar tujuan ekonomi hijau dapat tercapai sesuai target dan masyarakat, serta industri dapat beradaptasi dan berkontribusi maksimal,” tutup Puteri.

KEYWORD :

Warta DPR Komisi XI DPR Puteri Anetta Komarudin RUU HPP Pajak Karbon




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :