Sabtu, 27/04/2024 03:51 WIB

Indo Barometer: Jokowi Bisa Tiga Periode Kalau Gandeng Prabowo

Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari menyampaikan, pandangannya terkait dengan dinamika politik pada tahun 2021 setelah rampungnya gelaran pilkada serentak 2020 pada 9 Desember yang lalu.

Joko Widodo dan Prabowo Subianto

Jakarta, Jurnas.com - Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari menyampaikan, pandangannya terkait dengan dinamika politik pada tahun 2021 setelah rampungnya gelaran pilkada serentak 2020 pada 9 Desember yang lalu.

Menurutnya, kondisi dinamika politik di Indonesia akan aman karena tidak ada peristiwa politik besar seperti Pilkada Serentak. Pasalnya, izin Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pada tahun 2021, 2022 dan 2023 nanti, tidak akan ada pemilihan kepala daerah.

Hal ini dikatakan Qodari saat menjawab moderator dalam webinar Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI) yang bertajuk “Outlook Ekonomi dan Politik Indonesia 2021” Kamis, (17/12).

“Jadi tidak ada pilkada pada tahun 2022 dan 2023 jika melihat peraturan yang ada di UU nomor 10 tahun 2016. Artinya tidak ada pilkada gubernur di daerah strategis seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,” ujar Qodari.

Qodari menjelaskan, pilkada serentak total baru dilaksanakan November 2024 usai pemilu April tahun yang sama. Namun Qodari menambahkan, ada kemungkinan di tahun 2021 akan ada pembahasan mengenai revisi UU Pilkada dan Pemilu oleh DPR.

“Dimana masalah yang akan dibahas di antaranya kemungkinan akan diadakan lagi pilkada tahun 2022 dan 2023,” jelasnya.

“Khususnya oleh partai-partai menengah dan kecil, tapi menurut saya partai-partai besar seperti PDIP, kemudian Gerindra dan Golkar ada kemungkinan menolak,” sambung Qodari.

Penolakan 3 partai tersebut, kata Qodari dengan syarat mereka sudah mempunyai rencana atau kesepakatan mengenai ‘desain’ politik pada pilpres 2024 yang akan datang.

“Desain politiknya seperti apa, ada kemungkinan kemungkinan termasuk kemungkinan-kemungkinan yang ‘extreme’ atau luar biasa,” jelasnya.

Qodari menerangkan, kemungkinan yang luar biasa itu setidaknya ada dua. Pertama, kemungkinan Joko Widodo maju presiden untuk ketiga kalinya, tetapi kali ini dengan Prabowo Subianto sebagai Wakil Presidennya.

“Tentu saja hal ini memerlukan amandemen UU Dasar 1945, ”bebernya.

Kedua, lanjut Qodari, Prabowo maju sebagai calon Presiden dengan wakilnya berasal dari PDI Perjuangan.

“Kemungkinan skenario pertama bisa terjadi untuk menciptakan kekacauan sekaligus menghindari pemilu yang mengerikan seperti pada Pilpres sebelum-sebelumnya yang melahirkan dikotomi Cebong dan Kampret,” terangnya.

Qodari menilai sosok Jokowi dan Prabowo merupakan representasi atau simbol dari pengelompokan di masyarakat Indonesia, hingga pada momentum Pilpres 2019 terlahir istilah ‘cebong’ dan ‘kampret’ yang bertahan sampai saat ini.

Jika rekomendasi bergabung maka tidak ada lagi dikotomi ‘cebong’ dan ‘kampret’ pada pemilu yang akan datang.  

“Makanya kemungkinan semacam itu bisa saja terjadi, yaitu demi menjaga stabilitas dan menghindari Pemilu Presiden yang mengerikan dimana terjadi pembelahan seperti komentar cebong dan kampret di pilpres 2019,” imbuh sarjana psikologi UI dan master ilmu pemerintahan Essex University, Inggris itu.

.

KEYWORD :

DPR Pilpres 2024 Indo Barometer M. Qodari Jokowi Prabowo Subianto




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :