Jum'at, 26/04/2024 11:23 WIB

Kembalikan Mandat PDIP, Mulyadi-Mukhni Berpotensi Semakin Buntung

Mengembalikan mandat dukungan di tengah kesusahan PDIP diserang merupakan sikap kurang etis. 

Pakar Politik Karyono Wibowo, Arbi Sanit, dan Stanislaus dalam sebuah diskusi.

Jakarta, Jurnas.com - Keputusan pasangan bakal calon gubernur - wakil gubernur Sumatera Barat (Sumbar) Mulyadi-Ali Mukhni mengembalikan surat rekomendasi PDIP memiliki sisi keuntungan dan kerugian tersendiri dalam hitungan politik.

Pengamat Politik Indoensian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan, satu hal yang pasti bahwa keputusan itu sejauh ini sekadar dilandasi kepentingan politik elektoral jangka pendek, yakni mengejar Pilkada 9 Desember 2020.

"Jelas, bahwa keputusan pasangan Mulyadi - Ali Mukhni mengembalikan mandat dukungan PDIP karena merasa kuatir pernyataan Ketua bidang Politik DPP PDIP Puan Maharani memiliki dampak elektoral," jelas Karyono dalam keterangan tertulis, Minggu (6/9/2020).

Padahal, jelas Karyono, dengan mengembalikan mandat ke PDIP, tidak serta merta membuat Mulyadi-Mukhni memenangi Pilkada yang akan digelar secara serentak di 270 daerah pada 9 Desember 2020.

Karyono menjelaskan, faktor kemenangan dalam kontestasi pilkada tidak hanya diukur dari sebuah pernyataan, meskipun diakui sebuah pernyataan memiliki dampak politik elektoral. Tetapi, itu bukan satu-satunya faktor yang menentukan kekalahan atau kemenangan.

"Kemenangan atau kekalahan dalam kontestasi politik elektoral disebabkan oleh banyak variabel," papar Karyono.

Ia menilai wajar saja jika Mulyadi - Mukhni menghitung dampak resiko dari pernyataan Puan. Tetapi di saat yang sama, seharusnya dihitung pula risiko timbal balik yang bisa muncul.

Dengan mengembalikan mandat ke PDIP mereka berharap menambah dukungan dari pemilih, atau minimal pendukungnya tidak migrasi ke paslon lain.

"Tapi, di waktu yang sama pasangan Mulyadi - Mukhni juga berpotensi kehilangan dukungan, setidaknya dari basis pemilih PDIP," ungkap Karyono.

Karyono mengingatkan semua keputusan ada risikonya. Dan pertanyaannya kemudian, apakah dengan mengembalikan mandat PDIP lebih menguntungkan atau merugikan secara politik?

Bagi Karyono, hal ini perlu dipetakan secara presisi. Untuk mengetahui peta pergeseran pemilih memerlukan data riset yang menguji seberapa besar pengaruh pernyataan Puan terhadap perubahan pilihan. Tingkat dukungan Mulyadi-Mukhni bisa bertambah, bisa konstan, atau sebaliknya malah menurun.

"Namun Mulyadi-Mukhni sudah terlanjur membuat keputusan hanya berdasarkan asumsi, tinggal kita tunggu hasilnya nanti," jelasnya.

Terlepas dari pertimbangan politis, Karyono menegaskan bahwa sikap mengembalikan mandat dukungan di tengah kesusahan PDIP diserang merupakan sikap kurang etis. Tetapi hal itu merupakan pilihan politik private yang menjadi hak mereka.

Puan Maharani selaku Ketua Bidang Politik DPP PDIP memang sempat membuat heboh jagat publik dan viral. Meski pun isinya merupakan suatu harapan, tapi dalam perbincangan publik telah menimbulkan kesan negatif.

"Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung Negara Pancasila," tutur Puan.

Menurut Karyono, jika dipahami secara jernih, dengan mengesampingkan sikap sinis dan politis, pernyataan tersebut tidak menunjukan frasa yang tendensius menuduh masyarakat Sumbar tidak Pancasilais.

"Tidak ada frasa yang secara tendensius menghina masyarakat Sumbar. Seharusnya yang perlu digali dari pernyataan Puan adalah latar belakang pemikiran atau alasan munculnya sebuah harapan itu," jelasnya.

Konteks latar belakang atau dasar pemikiran dari pernyataan yang diributkan itu, kata Karyono, justru yang lebih substansial, bukan sekadar mempersoalkan teks narasi dengan membumbui propaganda.

Bagi Karyono, semestinya media bisa mewakili publik untuk menggali lebih jauh pemikiran Puan melalui wawancara agar ada penjelasan di balik pernyataan itu.

Tetapi di tengah liberalisasi informasi dan kebebasan berpendapat, jelas Karyono, membuat orang bebas menafsirkan apa saja sesuai dengan kemampuan dan kemauan. Demikian pula pernyataan Puan yang berharap agar Sumbar menjadi provinsi Pancasilais tentu terbuka untuk ditafsirkan secara subyektif.

"Kebebasan berpendapat memang keniscayaan dalam negara demokrasi, tetapi di tengah derasnya arus informasi, publik harus memiliki kemampuan literasi untuk memahami teks, konteks dan substansi informasi serta memiliki kemampuan memverifikasi informasi. Dengan demikian publik mampu memilah dan memilih seta mencerna informasi dengan baik," tuntas Karyono Wibowo, Direktur Eksekutif IPI.

KEYWORD :

Karyono Wibowo Sumatera Barat Puan Maharani Pilkada




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :