Sabtu, 27/04/2024 06:13 WIB

Pengamat Minta Produsen Bertanggung Jawab atas Sampah Kemasan Sachet

Indonesia sampai saat ini belum memiliki tempat pengolahan sampah modern seperti di negara maju

Ilustrasi plastik kemasan sachet (foto: Google)

Jakarta, Jurnas.com - Pengamat persampahan, Sri Bebassari, mengatakan bahwa persoalan pengelolaan sampah belum menjadi prioritas di Indonesia. Walaupun Indonesia sudah memiliki regulasi pengelolaan sampah, namun karena belum adanya juknis terkait dan tidak adanya sosialisasi yang massif membuat masyarakat belum teredukasi bagaimana mengelola sampah secara baik dan benar.

“Padahal kita sudah punya kan UU nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Kita juga sudah punya Kebijakan dan Strategi Nasional atau Jakstranas tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga. Tapi regulasi yang sudah ada ini tidak diseriusi dengan edukasi dan sosialisasi yang massif kepada masyarakat,” ujar Sri Bebassari melalui wawancara via telepon.

“Kalau masyarakat sendiri tidak teredukasi, mana bisa kita menggantungkan harapan yang besar bahwa masyarakat akan bergerak dan aktif melakukan pengelolaan sampah,” tambahnya. Padahal, seharusnya, sesuai Jakstranas yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017, ditargetkan hingga 100 persen sampah terkelola dengan baik dan benar pada tahun 2025.

Sri menegaskan, persoalan sampah plastik di Indonesia terkadang hanya dilihat sepotong-sepotong. “Terkadang banyak orang yang bukan expert ikut teriak-teriak, padahal mereka tidak mengerti masalahnya. Sebenarnya persoalan plastik ini hanya karena tidak terkelola dengan baik. Kalau saja pengelolaan sampah ini baik, seharusnya tidak perlu ada sampah plastik yang bertumpuk-tumpuk meluas sampai ke laut. Wong konsumsi plastik di Negara kita ini tidak lebih besar dari negara lain kok. Singapura saja, yang konsumsi plastiknya di atas kita, bisa menghasilkan sampah plastik lebih sedikit. Seharusnya kita juga bisa mengelola sampah plastik secara benar untuk menekan jumlah produksi sampah yang dihasilkan,” tegas Ketua Ketua Indonesia Solid Waste Association (InSWA) ini.

Ia menambahkan, persoalan sosialisasi dan edukasi pengelolaan sampah harusnya lebih dulu dikedepankan. “Dan ini seharusnya menjadi tanggung jawab Kementerian Kominfo untuk secara massif dari pusat membuat desain komunikasi. Tidak gampang lho buat desain komunikasi itu. Tetapi itu seharusnya dilakukan. Karena percuma buat UU tetapi tidak disosialisasikan kepada masyarakat,” kata Sri.

Sementara itu terkait penanganan sampah sachet, Sri menyatakan bahwa yang seharusnya paling bertanggung jawab adalah produsen. “Kita seharusnya mengacu pada Pasal 15 Undang-Undang nomor 18 tentang Pengelolaan Sampah. Disitu disebutkan bahwa produsen harus bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan dari produk yang mereka buat,” kata Sri.

Berdasarkan tanggung jawab ini, Sri menegaskan bahwa kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban itu diserahkan kepada Kementerian Perindustrian (Kemenperin), sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam memberi ijin produksi.

“Seharusnya, pada saat produsen meminta ijin produksi, Kemenperin harus lebih dulu meminta semacam proposal dari industri tentang rencana atau strategi setelah barang mereka dikonsumsi. Strategi ini harus bisa menjawab solusi dari persoalan potensi sampah yang akan dihasilkan produknya. Jika produsen tidak punya strategi, maka Kemenperin seharusnya tidak memberikan ijin produksi kepada mereka,” tegas Sarjana Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.

Menurut Sri, produsen dapat saja kreatif untuk memberikan berbagai ragam usulan bentuk strategi paska pemakaian kemasan sachet. “Mau dalam bentuk apapun silahkan. Apakah dalam bentuk re-use, dimana kemasannya akan bisa digunakan lagi, atau dalam bentuk strategi daur ulang. Yang pasti ada tanggung jawab mereka mengelola potensi sampah dari kemasan sachet yang mereka pakai,” ujar Sri.

Pengamat yang sudah meneliti persoalan sampah sejak tahun 1980 ini menyatakan bahwa yang penting dari pihak produsen adalah komitmen untuk bertanggung jawab terhadap sampah dari produk yang mereka hasilkan.

“Karena kemasan sachet itu kan kecil-kecil ya, itu sulit terurai. Seharusnya mereka pakai yang kemasan biodegrable yang dapat didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami, sehingga nantinya tidak berpotensi membuat TPA longsor,” kata Sri. Potensi longsornya TPA karena lamanya masa urai plastik yang rata-rata mencapai ratusan tahun,sehingga menyebabkan tanah di TPA yang mengandung jutaan lembar plastik tidak akan pernah bisa menjadi padat.

Sri menegaskan Kemenperin harus menjadi garda paling depan dalam meminimalisir potensi sampah dari kemasan sachet. “Jadi seharusnya Kemenperin sejak awal menjaga betul tentang tanggung jawab produsen ini. Supaya mereka itu tidak cuma asal jualan tetapi pikirkan juga dong apa yang harus dilakukan dengan kemasan plastik yang mereka produksi,” ujarnya.

Ia juga menambahkan terkait pengelolaan sampah ada lima aspek yang harus diperhatikan. Yakni aspek hukum, kelembagaan, pendanaan, sosial budaya dan teknologi.

“Dari segi hukum kita sudah ada UU no 18 tahun 2008. Dari segi kelembagaan ini harusnya bentuk konkret dari pelaksanaan UU tentang pengelolaan sampah tersebut, mulai dari tingkat kementerian sampai tingkat RT, dan ini belum berjalan efektif,” ujarnya. Sementara dalam hal pendanaan, menurut Sri, adalah biaya APBN dan APBD dalam menganggarkan dana untuk pengelolaan sampah, termasuk biaya yang harus dikeluarkan setiap rumah tangga.

Dari sisi budaya, kata Sri, justru menjadi PR besar bagaimana mengubah perilaku masyarakat dalam membuang sampah dan mengelola sampah. “Ini kembali ke persoalan edukasi tadi. Sepanjang sosialisasi kepada masyarakat belum massif maka jangan berharap banyak masyarakat paham tentang membuang sampah dan mengelola sampah yang benar,” ujarnya.

Sedangkan dari sisi teknologi, Sri menegaskan bahwa Indonesia sampai saat ini belum memiliki tempat pengolahan sampah modern seperti di negara maju. “Untuk propinsi seperti DKI Jakarta, yang produksi sampahnya setiap hari mencapai 8 ribu ton, kondisinya sudah gawat darurat. Sudah butuh insenerator yang bisa memusnahkan sampah sampai ribuan ton setiap hari. Ini mau tidak mau harus dilakukan karena kondisi sudah parah. Cuma ini obat terbaik untuk DKI. Karenanya saya bingung kalau banyak yang ribut atas pembangunan insenerator ini, sebab yang namanya teknologi pasti butuh biaya,” tegasnya.

Di tempat-tempat dimana produksi sampah tidak sebanyak di DKI, kata Sri, bisa diperbanyak TPSA atau tempat pembuangan sampah sementara yang dikelola secara modern. “Sambil itu berjalan kita edukasi masyarakat untuk pilah sampah dari rumah. Jadi berjalan seiring. Jadi yang pasti sosialisasi ke masyarakat juga harus massif dan efektif,” pungkasnya.

KEYWORD :

Smaph Plastik Kemasan Sachet




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :