Sabtu, 27/04/2024 03:04 WIB

Prilaku Buruk Elit Politik Membuat Suram Masa Depan Demokrasi Indonesia

Pemilu sebagai intrumen demokrasi mestinya tidak dijadikan ajang oleh para elit politik untuk memunculkan narasi yang menyebabkan masyarakat terpolarisasi.

Karyono Wibowo dalam diskusi bersama Bursah Zarnubi

Jakarta, Jurnas.com - Ujaran kebencian, hoaks, dan politik identitas yang mengeksploitasi dan mempolitisasi SARA dianggap menjadi beberapa penyebab suramnya masa depan demokrasi di Indonesia. Hal itu dinilai dapat menurunkan indeks demokrasi Indonesia.

Direktur Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan kondisi berbangsa dan bernegara cukup memprihatinkan belakangaan ini. Padahal, demokrasi yang sudah dibangun pasca runtuhnya Orde Baru cukup mahal. Untuk memperjuangkan demokrasi seperti yang dinikmati saat ini, harus melalui gerakan Reformasi 98 yang banyak menimbulkan korban.

Hal ini disampaika Karyono di sela-sela acara Buka Bersama dan Tausyiah Kebangsaan bertajuk "Memotret Peristiwa Kerusuhan 22 Mei, Sebuah Refleksi" di Sekretariat Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK), Jakarta Selatan, Jumat (31/5/2019).

Diskusi dihadiri ketua Umum PGK Bursah Zarnubi, Ketua Umum PB HMI Saddam Al Jihad, Ketua Umum DPP IMM Najih Prasetyo, Ketua Umum DPP KAMMI Irfan Ahmad Fauzi, Ketua Umum DPP GMNI Robaytullah K.Jaya, dan Ketua Umum PP GPII Masri Ikoni dan ratusan mahasiswa serta aktivis lintas generasi.

Menurut Karyono, Pemilu sebagai intrumen demokrasi mestinya tidak dijadikan ajang oleh para elit politik untuk memunculkan narasi yang menyebabkan masyarakat terpolarisasi.

"Pemilu sebagai instrumen demokrasi harus disikapi dengan bijak. Demokrasi yang kita capai pasca orde baru sebenarnya sudah berjalan positif, meskipun masih ada kekurangan," ujar Karyono.

Menurut Karyono, demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran karena wajah demokrasi dipenuhi hoak dan ujaran kebencian. Wajah demokrasi ternodai oleh sikap para aktor politik yang menghalalkan segala cara dan ingin menang sendiri serta mengabaikan konstitusi.

Di sisi lain, elit politik mempertontonkan politisasi SARA ke ruang publik. Padahal, politisasi SARA sangat berbahaya karena menimbulkan keretakan sosial dan bisa berujung pada disintegrasi bangsa, seperti halnya wacana referendum untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kini digaungkan.

Ditanya soal merebaknya Politik Identitas, Karyono menilai itu sudah menjadi sunatullah. Politik identitas tidak hanya di Indonesia, di sejumlah negara maju sekalipun ikatan politik berdasarkan identitas sangat kuat. Ada kesaman latar belakang suku, agama, ras dan antar golongan antara pemilih dengan kandidat.

"Hal itu tidak jadi persoalan. Itu sudah berlaku sejak dulu. Yang jadi persoalan ketika para elit sengaja mengeksploitasi politik identitas ini secara terbuka dan brutal untuk menjatuhkan lawan politik," tandas dia.

Terkait aksi demonstrasi yang menyebabkan kerusuhan dan kekerasan, terutama 21-22 Mei, Karyono mengatakan bahwa hal itu sebenarnya sudah diprediksi ketika wacana people power digaungkan.

Di satu sisi ada ajakan untuk tidak mempercayai institusi negara. Menurut dia, aksi demonstrasi sebenarnya tidak masalah selama aksi tersebut berjalan damai dan tidak anarkis.

"Saya mendukung upaya menyampaikan pendapat di muka umum karena hal itu bagian dari nilai-nilai demokrasi yang dijamin oleh undang-undang. Tapi dalam menyampaikan pendapat harus tunduk pada konstitusi. Jika melanggar maka sudah seharusnya aparat keamanan mengambil tindakan tegas jika ada tindakan destruktif dan anarkis untuk melindungi masyarakat," tuntas Karyono Wibowo.

KEYWORD :

Karyono Wibowo Demokrasi Reformasi 98




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :