Jum'at, 26/04/2024 12:25 WIB

Nasib Perempuan Myanmar, Terlihat Tapi Tak Didengar

Perempuan Myanmar selalu dijejali oleh anggapan bahwa perempuan dan laki-laki punya kedudukan yang sama di dalam masyarakat.

Perempuan Myanmar (foto: Waricha Wongphyat/Shutterstock)

Yangon - Beberapa waktu lalu, ramai pemberitaan tentang protes di sebuah pabrik garmen di Myanmar. Lebih dari 1000 pekerja menuntut pemenuhan hak-hak buruh.

Hanya saja kalau diperhatikan, dua dari tiga sumber yang dikutip oleh media Myanmar adalah laki-laki. Padahal di pabrik garmen tersebut, 90 persen pekerjanya adalah perempuan.

Dilansir dari Asian Correspondent, Rabu (28/2) sebagian besar jurnalis biasanya beralasan tidak ada pakar atau juru bicara perempuan, yang bisa dimintai tanggapan terhadap suatu persitiwa. Sementara di Myanmar ada lebih dari 100 perempuan yang bekerja sebagai profesional di pemerintahan, bisnis, akademisi, media, dan masyarakat sipil, yang punya keahlian untuk bicara di bidang mereka.

Jurnalisme bias gender di Myanmar juga terlihat pada persentase reporter dan presenter. Di Myanmar, hanya 28 persen reporter adalah perempuan. Sedangkan presenter televisi perempuan sebesar 66 persen.

"Jelas, laki-laki dihargai karena pendapatnya. Dan seorang perempuan dihargai karena penampilannya," tulis Asian Correspondent.

Perempuan Myanmar selalu dijejali oleh anggapan bahwa perempuan dan laki-laki punya kedudukan yang sama di dalam masyarakat. Sebagai perbandingan, nasib mereka tak seperti perempuan India yang wajib mengenakan pengikat kaki hingga purdah. Demikian perspektif era penjajahan Inggris, yang tetap diabadikan oleh ilmuwan Myanmar sekarang.

Sejak memasuki usia muda, perempuan Myanmar didoktrin untuk dilihat namun tak untuk didengar. Norma-norma semacam `berbicara lemah lembut` dan `berpakaian sopa`, dinilai sebagai metode untuk membuat perempuan bersikap pasif, dan tetap terkendali.

Ditambah sistem pembelajaran ala hafalan di Myanmar seakan meredam nalar kritis perempuan. Hasilnya, perempuan memang lebih unggul jumlahnya di universitas dibandingkan laki-laki, namun bukan berarti setelah lulus mereka justru yang paling banyak mengisi lapangan pekerjaan. Buktinya, dari 100 konglomerat di Myanmar, hanya tiga orang di antara merupakan CEO perempuan.

"Meskipun punya kualifikasi yang lebih baik di atas kertas, perempuan ketika bertambah tua harus bertanggung jawab sebagai istri dan ibu. Akhirnya perkembangan karir mereka melambar, dan pria mendominasi peran senior dan pengambil keputusan di sektor publik," imbuhnya.

Presiden Myanmar Aung San Suu Kyi jelas tak bisa dijadikan contoh kesetaraan gender di Myanmar. Pasalnya Suu Kyi terlahir sebagai anak semata wayang Jenderal Aung San. Jenderal yang dijuluki sebagai Bapak Bangsa Myanmar, yang tewas akibat dibunuh pada Juli 1974 silam.

 

Artikel asli berbahasa Inggris dapat diakses di sini

KEYWORD :

Perempuan Gender Myanmar




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :