Jum'at, 26/04/2024 20:25 WIB

KPK Tingkatkan Kasus SKL BLBI ke Penyidikan, Syafrudin Tumenggung jadi Tersangka

BDNI milik Sjamsul Nursalim merupakan salah satu bank yang mendapat Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) senilai Rp 27,4 triliun. 

Syafrudin Tumenggung/IST

Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi meningkatkan kasus dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Badan Likuiditas Bank Indonesia ke tahap penyidikan. Peningkatan status kasus tersebut dibarengi dengan penetapan tersangka baru kasus tersebut.

Informasi yang dihimpun Jurnas.com, KPK telah menetapkan seorang mantan pejabat negara menjadi tersangka kasus ini. Saat SKL ini bergulir, ia merupakan pejabat yang berwenang mengeluarkan SKL terhadap para debitor BLBI. Informasi lain menyebut, tersangka baru itu adalah Syafrudin Tumenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah tak membantah kasus tersebut telah naik ke tahap penyidikan dan sudah ada tersangkanya. Namun, Febri belum mau membeberkan secara gamblang.

"Perkembangan penanganan BLBI akan kami sampaikan segera di awal Minggu depan," ucap Febri Diansyah kepada Jurnas.com, Sabtu (22/4/2017).

Kasus BLBI sendiri kembali "mencuat" setelah Mantan Kepala Badan Perencanaan Nasional dan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie berada di gedung KPK, pada Senin (20/4/2017). Saat itu Menteri era Presiden Megawati Soekarnoputri ini mengaku diperiksa sebagai saksi oleh KPK terkait kasus Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Kwik tak membantah kasus BDNI itu terkait kasus SKL BLBI yang sebelumnya diselidiki lembaga antikorupsi. Dan pemeriksaan ini, kata Kwik, dalam kapasitasnya sebagai Menko Perekonomian saat itu.

"Iya diperiksa sebagai saksi. Kasusnya kasus BDNI. BDNI (itu antara tahun) 2001, 2002 sampai 2004," ungkap Kwik usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (20/4/2017).

Diketahui, BDNI milik Sjamsul Nursalim merupakan salah satu bank yang mendapat Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) senilai Rp 27,4 triliun. Surat lunas tersebut terbit pada April 2004 dengan aset yang diserahkan diantaranya PT Dipasena (laku Rp 2,3 triliun), GT Petrochem dan GT Tire (laku Rp 1,83 triliun).

"Ada kasus, pertama yg sedang disidik dan saya dimintai keterangan-keterangan oleh KPK. Tentu saja ketika saya menjabat sebagai Menko dan pernah ada urusan dengan blbi dan semua konsekuensinya," kata Kwik menambahkan.

Dikonfirmasi prihal pemeriksaan Kwik, Febri membenarkannya. Febri juga mengakui pihaknya beberapa waktu terakhir ini melakukan serangkaian pencarian informasi terkait kasus BLBI.

KPK sebelumnya pernah meminta keterangan sejumlah mantan Menteri Koordinator Perekonomian. Selain Kwik Kian Gie yang menjabat Menko Perekonomian periode 1999-2000, KPK juga pernah meminta keterangan mantan Menko Perekonomian lainnya, seperti Rizal Ramli (2000-2001), dan Dorodjatun Kuntjoro Jakti (2001-2004). Selain itu, mantan Menteri BUMN, Laksamana Sukardi, dan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), I Gde Putu Ary Suta.

KPK juga sudah meminta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mencegah Lusiana Yanti Hanafiah yang berasal dari pihak swasta sejak 4 Desember 2014 hingga jangka waktu enam bulan.

"Memang sebelumnya KPK pernah menangani kasus tersebut (tahap penyelidikan), namun saat itu belum proses Penyidikan," terang Febri.

SKL BLBI sendiri dikeluarkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri berdasarkan Inpres Nomor 8/2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10. Dalam kasus BLBI, surat keterangan lunas tersebut menjadi dasar bagi Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyidikan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan/ SP3) terhadap sejumlah pengutang. Salah satunya adalah pengusaha Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia, yang dihentikan penyidikannya pada Juli 2004.

Berdasar hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari dana BLBI sebesar Rp 144,5 triliun yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, sebanyak Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara.

Sementara dalam audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun.
Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.

KEYWORD :

Kasus BLBI syafrudin tumenggung kpk




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :