Jum'at, 26/04/2024 19:11 WIB

Sanksi AS Terhadap Militer Myanmar Kurang Pedas

Sanksi terhadap kepala militer Min Aung Hlaing dan tiga lainnya karena berperan dalam pembersihan etnis di Rohingya tidak cukup keras.

Militer Myanmar saat menghadapi warga muslim Rohingya (Foto: Reuters)

New York, Jurnas.com - Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa  Hak Asasi Manusia di Myanmar mengatakan, sanksi Amerika Serikat (AS) yang diberlakukan kepada para pemimpin militer Myanmar atas Muslim Rohingya seharusnya lebih keras.

Yanghee Lee mengatakan di Malaysia, Kamis (18/7) sanksi terhadap kepala militer Min Aung Hlaing dan tiga lainnya karena berperan dalam pembersihan etnis di Rohingya tidak cukup keras.

Ia meminta kepada Washington agar mereka yang mendapat hukuman itu agar aset pribadi dan keluarganya disita serta menjatuhkan sanksi kepada komandan senior Myanmar lebih banyak lainnya.

Pada Selasa (16/7), Kementerian Luar Negeri AS mengumumkan bahwa Aung Hlaing dan komandan senior lainnya, Brigadir Jenderal Than Oo dan Aung Aung, bertanggung jawab atas pembantaian Muslim Rohingya di Myanmar.

Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, mengatakan, kepala militer memerintahkan pembebasan tentara Myanmar yang dihukum karena pembersihan etnis di Rohingya 2017 adalah salah satu contoh mengerikan dari kurangnya pertanggungjawaban yang terus menerus bagi militer.

AS, Kanada, dan Uni Eropa sebelumnya sudah menjatuhkan sanksi terhadap anggota militer Myanmar, tetapi tidak berhasil mencapai puncak kepemimpinan.

Washington juga sudah tidak menyebut pembantaian itu sebagai genosida, tetapi kampanye pembunuhan massal, pemerkosaan dan kekejaman lainnya yang terencana dan terkoordinasi.

Negara bagian Rakhine barat Myanmar menjadi pusat perhatian dunia sejak 2017, saat tentara Myanmar memaksa ribuan etnis Rohingya meninggalkan tahan kelahiran menuju Bangladesh.

Tahun lalu, sebuah misi pencarian fakta PBB, mengatakan, kampanye melawan Rohingya terkonir untuk tujuan genosida. Mereka menyebut panglima militer dan lima jenderal lainnya melakukan kejahatan paling buruk di bawah hukum internasional.

Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) sudah membuka pemeriksaan pendahuluan atas kekerasan tersebut.

Sekitar 800.000 Muslim Rohingya tinggal di kamp-kamp di Bangladesh setelah mereka diusir dari Rakhine selama kampanye mematikan di 2017, yang oleh PBB disebut sebagai pembersihan etnis.

Rakhine menjadi tempat terjadinya kekerasan komunal sejak 2012. Banyak Muslim dibunuh, sementara puluhan ribu lainnya terpaksa mengungsi akibat serangan umat Buddha. Para pengungsi sebagian besar tinggal di kamp-kamp dalam kondisi yang mengerikan.

Rohingya sudah menghuni Rakhine selama berabad-abad, tetapi kebanyakan orang di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha menganggap mereka sebagai imigran yang tidak diinginkan dari Bangladesh. Kewarganegaraan mereka juga tidak diakui.

KEYWORD :

Myanmar Etnis Rohingya Amerika Serikat




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :