Minggu, 05/05/2024 03:35 WIB

Polisi Tak Berdaya Tumpas Pelaku Teror di Hutan dan Gunung

Menurut Setyo yang memiliki spesifikasi menguasai medan tersebut adalah pasukan TNI.

Tim Dentasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri

Jakarta  - Kepolisian tak berdaya dalam menghadapi sejumlah kondisi dalam menanganani tindak terorisme. Di antaranya dalam melakukan aksi di gunung dan hutan.

Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Setyo Wasisto mengamini bahwa pihaknya tak punya kemampuan dalam melancarkan aksi penumpasan pelaku teror yang berlindung atau bersarang di dalam gunung dan hutan.

"Kita tidak punya kemampuan itu," ungkap Setyo dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (3/6/2017).

Menurut Setyo yang memiliki spesifikasi menguasai medan tersebut adalah pasukan TNI. Setyo berharap melalui revisi Undang-Undang (RUU) anti terorisme yang kini tengah digodok kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pihaknya dapat berkolaborasi dengan TNI dalam penumpasan aksi teror yang belakangan ini cukup meresahkan.

"Oleh karena itu, kemampuan itu yang punya TNI, TNI yang bermain," ujar dia.

Revisi RUU anti terorisme tersebut digulirkan paska tragedi bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur. Dalam pembahasan RUU tersebut, sejumlah fraksi tengah merundingkan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang akan disandingkan dengan jajaran Polri. Pembagian porsi kerja jika disandingkan sempat menuai perdebatan.

Menurut Setya, pembagian kerja TNI dan Polri sudah pernah terjalin dan dibuktikan lewat operasi tinombala di Poso, Sulawesi Tengah, sejak awal 2016, lalu. Dikatakan setya, TNI mempunyai peran yang sangat berharga  dalam operasi tinombala tersebut. Dimana, pihak TNI dalam oprasi tersebut berhasil melumpuhkan pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Santoso alias Abu Wardah.

‎"Kita sudah melihat di operasi tinombala di Poso. Dimana, ada Beyound Police ‎Capacity, jadi kalau sudah melebihi kapasitas, kemampuan kepolisian, TNI harus berperan disitu. TNI itu sudah berperan, yang nembak Santoso itu siapa? Yang nembak Santoso itu TNI. Yang dapatkan Santoso di Poso itu TNI. Jadi, enggak ada masalah," tandas Setya.

Hal berbeda disampaikan Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Anton Tabah Digdoyo. Ia tak sepakat mengenai pelibatan TNI dalam RUU Antiterorisme. Menurutnya, TNI tak boleh dilibatkan dalam otoritas sipil. Sehingga RUU Antiterorisme dinilainya tak tepat jika nantinya mengakomodasi peran TNI untuk terlibat secara langsung dalam penanggulangan teroris.

"Ada pasal tak humanis, `Pasal Guantanamo`, melibatkan tentara, itu tak direkomendasikan dunia. Indonesia harus patuh pada berbagai yurisprudensi, yurisdiksi internasional. Akan sangat tepat, elegan, tak bertele-tele bahkan sampai penyelidikan kakinya di atas, kepala di bawah, disiram banyu keras, itu boleh, itu keputusan politik 2 tahun. Kalau mau diperpanjang, pasalnya diubah lagi. Ini sangat elegan dan sangat cepat," ungkap Anton dalam kesempatan yang sama.

Selain tak sepakat, anton juga mempertanyakan pasal pelibatan TNI dalam RUU Antiterorisme. Menurut Anton, penerjunan TNI dalam menangani teroris cukup melalui keputusan politik presiden, dan tidak melalui undang-undang.

Di contohkan Anton, peran militer dalam menanggulangi teroris seperti tragedi teror WTC di Amerika Serikat 2001. Dimana tentara Amerika Serikat saat itu baru turun tangan dalam menanganai tragedi itu setelah melalui keputusan politik beberapa lembaga strategis terkait.

"Pengalaman WTC, dua pesawat terbang, dalam waktu 19 hari Amerika Serikat bisa membuat keputusan politik. Itu bisa lebih dahsyat, lebih keras, tapi ada masanya, hanya dua tahun, yaitu keputusan DPR, Menhan, Presiden, Menlu, Mendagri di Amerika melibatkan itu. Di Indonesia nggak tahu bisa diakomodasi lain," ungkap dia.

Anton menilai, keputusan politik tersebut paling manusiawi. Langkah tersebut sudah diterapkan oleh banyak negara terkait pelibatan TNI dalam menangani teroris. Sebab itu, disarankan Anton, keputusan politik itu dibuat presiden. Meski demikian, lembaga lain juga harus terlibat.

"Eksekutif, dua-duanya (bersama DPR) bisa. Urusan melibatkan tadi Menhan karena di sana (Amerika Serikat) sistemnya seperti itu dan tak boleh lebih dua tahun," ujar Anton.

KEYWORD :

polri terorisme TNI




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :